Selasa, 09 Februari 2010

Shalat Khusyu' Itu Mudah

Shalat Khusyu' Itu Mudah

Suatu siang, Hj. Aliyah (almarhumah) datang ke rumah untuk mengajar mengaji bagi istri saya dan beberapa temannya. Kebetulan hari itu saya sedang ijin kantor untuk masuk siang karena ada suatu keperluan. Kebetulan pula, Beliau sudah beberapa kali ingin bertemu saya untuk menanyakan masalah shalat khusyu' yang setiap bulan diajarkan ustadz Abu Sangkan di Islamic Center Bekasi, ketika itu.

Karena Beliau adalah seorang ustadzah yang sudah banyak mengerti hakikat dan aturan shalat, maka tidak banyak hal lagi yang saya sampaikan. Saya hanya meneruskan apa yang saya ingat dari apa yang pernah disampaikan ustadz Abu Sangkan, terutama bagaimana kita bersikap dan berdialog dengan Allah ketika kita shalat.

Tidak lama, hanya sekitar 15 menit, tapi terasa Beliau langsung "nyambung" dengan yang saya sampaikan. Setelah itu, saya ajak Beliau shalat Dhuhur berjamaah. Dalam shalat itu, sengaja saya panjangkan setiap gerakan shalat, terutama rukuk dan sujud. Tak lama setelah selesai shalat dan berdzikir sejenak, dengan badan agak gemetar, Beliau berkata: "Kok cepat betul shalatnya?". Saya hanya tersenyum sambil melihat ke jam dinding dan mengatakan: "Maaf saya tidak bisa lebih lama lagi karena harus segera ke kantor, tapi tadi kita sholat selama hampir 20 menit". "Ah … yang betul?", kata Beliau tak percaya. “Bagaimana rasanya Bu?”, tanya saya. “Kalau nggak karena malu, saya sudah nangis sekarang”,jawabnya.

Pada waktu lainnya, ketika bertugas ke Semarang, saya sempatkan mampir ke rumah mendiang nenek saya. Ketika azan Magrib berkumandang, saya pun pergi ke mesjid As-Salam yang ada di seberang rumah. Oleh imam mesjid tersebut, saya diminta untuk menjadi imam sholat. Mungkin ingin menghormati kedatangan saya di sana.

Sebetulnya saya agak segan menerimanya. Selain bacaan Al Qur’an saya kurang fasih, aksennya terlalu “Indonesia”, juga karena saya khawatir tempo sholat saya yang agak lama akan membuat jamaah menjadi tidak nyaman. Apalagi ditambah dengan suasana desa yang sejuk dan tenang. Karena itu sebelum shalat dimulai, saya memberikan sedikit pengantar yang kira-kira kalimatnya seperti dibawah ini.

"Maaf, saya kalau shalat agak lama. Bukan bacaannya yang panjang, hanya sekedar ingin mempraktekkan thuma’maninah. Ketika rukuk, saya tidak buru-buru membaca, tapi saya tundukkan dulu pikiran saya, hati saya dan jiwa saya. Setelah semua terasa tunduk, baru saya memuji Allah - subhaana rabbial azimi wa bihamdihi. Demikian pula ketika sujud. Saya sujudkan pikiran, hati dan jiwa saya. Setelah semua terasa bersujud, merendah kepada Allah, baru saya tinggikan Allah – subhaana rabial a'la wa bihamdihi. Ketika duduk diantara dua sujud, saya sampaikan permohonan saya kepada Allah dengan rendah hati dan satu per satu".

Lalu saya pun memimpin shalat dengan tenang. Setelah selesai shalat dan berdzikir sejenak, saya melihat beberapa orang di shaf depan masih tetap tertunduk dalam, tak mampu segera bangkit untuk mengubah posisi duduk tahiyyad akhirnya. Kedua peristiwa tersebut semakin meyakinkan saya bahwa khusyu’ adalah bukan sesuatu yang mustahil bagi kita manusia awam, bahkan suatu yang mudah diperoleh.

Kegagalan meraih khusyu’

Selama ini, kita selalu berpendapat bahwa khusyu’ itu sangat sulit dicapai. Ketika shalat, pikiran sering pergi kemana-mana. Karena itu, lalu muncullah cara mengatasinya yaitu dengan konsentrasi. Konsentrasi pikiran seolah-olah telah menjadi kunci mencapai khusyu’. Maka tidak mengherankan jika pelajaran shalat khusyu' pada umumnya tujukan untuk membantu mengarahkan konsentrasi pikiran, seperti misalnya melihat titik ditempat sujud, menerjemahkan bacaan, menghadirkan Allah, dan lain-lain.

Cara-cara tersebut terlihat meyakinkan, tetapi kenyataannya tidak memberi terlalu banyak manfaat. Melihat tempat sujud membantu agar pandangan kita tidak melirik kekiri dan kanan, tetapi tidak mampu menahan pikiran kita yang suka melompat ke kiri dan kanan. Jika khusyu’ dapat diperoleh dengan mengerti arti bacaannya, ketika saya pergi ke Mekkah, ternyata orang-orang Arab pun terlihat tidak lebih khusyu’ daripada kita. Ada yang matanya melirik ke kiri-kanan, ada yang sibuk merapihkan tutup kepalanya, dan lain-lain.

Padahal mereka tentu mengerti arti bacaannya. Mencoba “menghadirkan” Allah, malah menambah kebingungan kita sendiri. Di dalam Al Qur’an dinyatakan, bahwa Allah tidak bisa diserupakan apapun juga (QS Asy Syuura [42] : 11).

Jadi apapun yang kita bayangkan mengenai wujud Allah, maka itu pasti salah. Anehnya, cara-cara tersebut, meskipun terbukti gagal sebagai metoda mencapai khusyu', tetapi terus-menerus diajarkan oleh orang tua ke anaknya, oleh guru ke muridnya, demikian dari generasi ke generasi. Agak konyol memang.

Ketika usaha khusyu’ melalui konsentrasi gagal, maka muncullah persyaratan-persyaratan lain. Ada yang mengatakan, bahwa untuk khusyu’ kita harus suci, bersih dari perbuatan dosa. Persyaratan ini sempat pula membuat saya pesimis, karena ternyata banyak ustad-ustad yang saya kenal secara pribadi sebagai orang yang sholeh, bisa berbahasa Arab, tinggi ilmu agamanya, ternyata mengalami masalah pula dengan shalat khusyu’. Kalau mereka saja yang tinggi ilmu agamanya, banyak berdzikir dan menjaga perbuatannya saja sering tidak khusyu’, bagaimana dengan saya?

Mendadak khusyu'

Mungkin telah banyak usaha dan cara untuk khusyu’ telah kita lakukan tetapi tetap saja tidak berhasil. Anehnya, tiba-tiba kita bisa mendadak khusyu'. Ketika kita tertimpa musibah yang hebat, tiba-tiba saja kita bisa shalat dengan khusyu' lalu berdoa sambil mengucurkan air mata.

Padahal ketika itu, kita justru lupa dengan segala macam teori mengenai shalat khusyu'. Kita shalat tanpa berkonsentrasi, kita juga lupa memperhatikan titik ditempat sujud, tapi hati dan pikiran kita tidak pernah lepas mengarah ke Allah. Kita tetap belum sepenuhnya memahami arti bacaan dalam bahasa Arab, tapi kita merasa bisa berdialog dengan Allah.

Kita lupa untuk “menghadirkan” Allah, tapi malah terasa Allah begitu dekat. Ketika itu, dosa kita tidak lebih sedikit dari sebelumnya, malah mungkin kita baru saja melakukan perbuatan dosa besar sehingga kita sangat menyesal, tapi terasa Allah menyambut shalat dan doa kita.

Saat ketika kita tidak menggunakan ilmu khusyu’, saat itu justru kita bisa shalat dengan khusyu'. Keadaan ini bisa terjadi kepada siapa saja, dari mahzab dan aliran apa saja, kepada ulama, orang yang awam ilmu agamanya, cendikiawan, orang yang kurang berpendidikan, orang kaya, orang miskin, bahkan kadang kepada orang yang jarang shalat sekali pun.

Apa gerangan yang membuat itu bisa terjadi? Salah satunya adalah sikap dalam menghadap kepada Allah. Ketika kita tertimpa musibah, maka kita datang kepada Allah dengan merendahkan diri, sungguh-sungguh mengharapkan pertolongan Allah. Kita menjadi tersadar, hanya Allah-lah yang dapat mengatasi masalah kita dan mengabulkan doa kita.

Sebaliknya ketika kita sedang jaya, tidak kekurangan suatu apapun, sikap itu sudah tidak ada lagi. Biasanya kita shalat dan doa hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban saja. Seolah-olah Allah-lah yang membutuhkan shalat dan doa kita.
Musibah diturunkan tidak lain agar kita selalu datang dengan merendahkan diri kepada Allah. Sikap yang akan membuat kita khusyu'. Sayang kita selalu lalai terhadap pelajaran yang Allah berikan kepada kita itu, meskipun Allah telah memberikannya berkali-kali.

Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu." (QS Az Zumar [39] : 8).

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang
sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. (QS Al An'aam [6] : 42).

Dan tidaklah mereka memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, dan mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran? (QS At Taubah [9] : 126).

Peka dan tanggap lingkungan

Banyak orang mendefinisikan khusyu’ dengan menggunakan acuan peristiwa Syaidinna Ali ketika kakinya terkena anak panah. Ketika anak panah tersebut akan dicabut Beliau mengerang, tak kuat menahan sakit sehingga para sahabat tak tega mencabutnya. Lalu Beliau shalat dengan khusyu’. Dan ketika shalat itu, anak panah dapat dicabut tanpa Syaidinna Ali merasakan kesakitan.

Peristiwa tersebut sangat popular dan memberikan kesan yang kuat bahwa salah satu tanda shalat yang khusyu’ adalah seseorang tidak lagi merasakan sakitnya luka. Seolah-olah ketika shalat dengan khusyu’, kita bisa lepas dari alam dunia. Tidak merasakan apa-apa dan tidak memikirkan apa-apa lagi. Kesan ini diperkuat lagi oleh cerita tentang satria yang sedang bersemedi didalam kisah perwayangan. Diganggu jin dan gendruwo tidak gentar, dikelilingi binatang buas diam saja, dirayu bidadari cantik tidak tergoda. Tahan tidak makan dan minum berhari-hari lamanya. Apakah shalat khusyu’ harus seperti itu? Siapa orang yang paling khusyu' shalatnya di dunia ini? Pasti kita sepakat, bahwa Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling khusyu' shalatnya. Marilah kita melihat bagaimana Rasulullah melakukan shalatnya.

 Ketika Nabi sedang memimpin shalat, tiba-tiba terdengar tangis anak kecil. Beliau pun mempercepat shalatnya, takut terjadi sesuatu dengan anak itu.

 Ketika sedang shalat, Nabi melihat ada binatang berbisa mendekat. Beliau pun menghentikan shalat untuk membunuh binatang tersebut, lalu meneruskan kembali shalatnya.

 Pada suatu saat, setelah selesai shalat berjamaah, Nabi tidak berdzikir sebagaimana biasanya, tetapi segera bergegas pulang. Ketika telah kembali ke masjid, Beliau ditanyaoleh sahabatnya mengenai ketergesaan itu. Beliau mengatakan, bahwa ketika shalat Beliau ingat ada sedekah yang belum dibagikan. Karena itu, Beliau segera pulang agar dapat membagi sedekah tersebut secepatnya.

 Ketika sedang berperang, Nabi mengajarkan shalat khauf. Shalat berjamaah yang dilakukan dengan cara yang unik karena harus tetap dalam kondisi siaga terhadap serangan musuh.

Dari beberapa riwayat tersebut, ternyata ketika shalat, Nabi selalu peka dan tanggap kepada lingkungannya. Beliau tetap mendengar dan melihat apa yang terjadi di sekelilingnya. Lintasan-lintasan pikiran pun tetap ada ketika Beliau shalat.

Bahkan jika ada masalah, Beliau mengajarkan kepada kita untuk shalat sunnat 2 rakaat. Artinya, ketika shalat, Beliau bukan melupakan suatu masalah, tetapi malah sengaja membawa masalah tersebut dalam shalatnya untuk disampaikan kepada Allah agar diberikan jalan keluarnya. Apa yang Beliau ajarkan sesuai dengan apa yang diperintahkan di dalam Al Qur'an :

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS Al Baqarah [2] : 153)


Khusyu’ menurut Al Qur'an

Kita sering mengasosiakan khusyu' dengan kontemplasi, semedi atau meditasi yang biasa dilakukan dalam praktek ritual agama lain. Kita menjadi lupa untuk menggali bagaimana Al Qur'an menjelaskan mengenai khusyu' itu.

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (QS Al Baqarah [2] 45-46).

Dari kedua ayat tersebut, dapat disimpulkan khusyu' bukanlah konsentrasi, tetapi keyakinan sedang menghadap Allah.Keyakinan sangat mempengaruhi sikap seseorang. Orang yang yakin di pohon kamboja ada hantunya, maka dia akan ketakutan jika malam-malam lewat di bawahnya. Sebaliknya, jika orang tersebut berkeyakinan pohon kamboja adalah pohon yang indah, maka orang tersebut justru menemukan kesenangan di bawahnya. Dia akan memungut bunga-bunga yang berguguran untuk diselipkan ditelinga, dibuat rangkaian bunga atau diletakkan mengapung diatas kolam air.

Sebetulnya, kata yang sering diterjemahkan sebagai “yakin” pada ayat di atas bukanlah berasal kata “yaqin” tetapi dari berasal kata “zon” -yazunnuuna.Zon sebetulnya lebih sering diterjemahkan sebagai “sangkaan” sebagaimana halnya kata “husnuzon” dan su’uzon”. Ada pula mengartikan sebagai “menduga dengan kuat”. Yang pasti, tingkat keyakinan atau kepastian akan terjadinya sesuatu yang menggunakan kata “zon” berada dibawah kata “yaqin”. Jika kata “yaqin” bisa dikatakan 90%-100% sesuatu itu akan terjadi, maka kata “zon” tingkat kepastiannya mungkin hanya sekitar 70%-90% 1

Dalam tata bahasa Arab, berdasarkan waktu berlangsungnya suatu kegiatan, kata kerja terdiri dari 2 bentuk, yaitu fi'il maadhi dan fi'il mudhaari'. Fiil maadhi merupakan kata kerja bentuk lampau (past) sedang fiil mudhaari’ adalah kata kerja untuk kegiatan yang sedang berlangsung saat ini (present continuous), masa depan (future) dan juga untuk kegiatan yang berulang-ulang. Kata kerja yang ada pada surat Al Baqarah ayat 46, yaitu "yazunnuu" menggunakan fi'il mudhaari'.

Kata “menemui” (mulaaquu) dan “kembali” (raaji’uun) adalah kata pelaku dari kegiatan tersebut (isim fa’il), sama dengan kata “orang-orang yang khusyu’ “ (khaasyi’un). Kata ini tidak menunjukkan kapan waktu kegiatan tersebut dilakukan. Bisa lampau, sekarang ataupun yang akan datang. Kebanyakan terjemahan Al Qur'an dalam bahasa Indonesia, memilih menterjemahkannya “khaasyi’un” (orang yang khusyu’) tanpa menggunakan kata “akan”,

1 Bahan Pengajian Ar-Rahman pimpinan ustad Bahtiar Nasir kelas Basic 2.

Sedang kata “muulaquu” (orang yang menemui) dan “raaji’uun” (orang yang kembali) dengan tambahan kata "akan" (masa yang akan datang). Salah satu pertimbangannya "menemui Tuhan" dan "kembali kepada-Nya" hanya mungkin terjadi "nanti" di akherat. Jika demikian, lalu ketika shalat kepada siapa dia menghadap?.

Dalam beberapa hadits, tampak bahwa Nabi menjaga sikapnya ketika sedang shalat. Beliau berpendapat ketika shalat sesungguhnya orang sedang berhadapan dengan Allah, seperti halnya ketika Beliau mi’raj. Karena itu, Beliau melarang orang yang sedang shalat meludah ke depan, memberi tanda batas tempat shalatnya (sutrah) dan mencegah orang melewatinya.

Allah Ta'ala tetap (senantiasa) berhadapan dengan hambaNya yang sedang shalat dan jika ia mengucap salam (menoleh) maka Allah meninggalkannya. (HR. Mashobih Assunnah)

Nabi juga telah mengajarkan caranya agar kita dapat “menemui” dan “kembali” kepada Allah sebagaimana yang dimaksudkan dalam Al Baqarah 46. Petunjuknya dikemas ringkas dalam doa iftitah yang dibaca di awal shalat, setelah takbiratul ihram. Jadi ketika kita baru memulai shalat, kita selalu diingatkan Beliau tentang apa yang harus dilakukan di dalam shata agar kita menjadi orang yang khusyu’.

Aku hadapkan wajahku kepada wajah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dengan lurus dan berserah diri .Sesungguhnya ibadahku, shalatku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam ..

Kita hanya perlu memiliki sangkaan/keyakinan sehingga bisa bersikap untuk menghadapkan diri kita kepada Allah dengansadar dan rela mengembalikan seluruh jiwa raga kita kepada Allah. Karena itu, menurut saya, lebih tepat jika arti khusyu’ dalam Al Baqarah ayat 46 diatas diterjemahkan sebagai :

Orang-orang yang (bersikap) seolah-olah, mereka sedang menemui Tuhannya, dan seolah-olah mereka sedang kembali (berserah diri) kepada-Nya.

Kata khusyu' sendiri disebutkan di dalam Al Qur'an pada 16 ayat 2. Makna bahasanya berkisar pada hina/menunduk, rendah/ tenang, ketakutan, kering/mati, seperti:

1. Hina dan menunduk
"Banyak muka pada hari itu tunduk terhina". (QS. Al Ghaasyiyaah [88]:2).
"Pandangannya tunduk". QS. (An-Naazi'aat [79]: 9).
Syaikh Mu'min Al Haddad, Khusyuk Bukan Mimpi. Terjemahan Ahmad Syakirin, MA. Penerbit Aqwan, Cetakan III tahun 2008

"Sambil menundukkan pandangan-pandangan mereka keluar dari kuburan seakan-akan mereka belalang yang beterbangan" QS. (Al Qamar [54]: 7).

2. Rendah dan tenang
" . Dan merendahlah semua suara kepada Rabb Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja". (QS. (Thaahaa [20]: 108).

3. Merendahkan dan menundukkan diri
Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir". (QS. Al Hasyr [59] : 21).

"(dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi
kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera". (QS. Al Qalam [68] : 43).

4. Kering dan mati
"Dan diantara tanda-tanda kekuasaaan-Nya (ialah) bahwa engkau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air diatasnya, niscaya ia bergerak dan subur". (QS. Fushshilat [41]: 39).

Berdasarkan ayat-ayat tersebut diatas, maka untuk mendapatkan rasa khusyu’ kita hanya perlu bersikap seolah-olah ketika shalat kita sedang berhadapan dengan Allah dan berserah diri kepada Nya. Sikap yang patut kita lakukan ketika menghadap Allah adalah tenang, menundukkan pandangan dan merendahkan diri serendah-rendahnya.

Sikap yang sepatutnya dilakukan oleh seorang hamba yang hina dihadapan Tuhan semesta alam, Tuhan Yang Maha Agung. Seperti sikap bumi yang kering kerontang dimusim kemarau mengharapkan pertolongan dari Allah swt dalam bentuk curahan hujan agar dapat kembali subur makmur.

Siapkan diri untuk khusyu'

Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak Anda untuk memahami teori dasar mengenai shalat khusyu’ dan melatih sikap-sikap yang diperlukan ketika kita shalat. Latihan-latihan yang ada di dalam buku ini sangat penting untuk dilakukan. Rangkaian kata dan kalimat pada tulisan tidak akan mampu menjelaskan dengan baik apa yang saya rasakan. Dengan melakukan latihan, diharapkan Anda dapat merasakan suasana-suasana khusyu’ yang diperoleh dari sikap-sikap tersebut sehingga akan lebih memahami apa yang saya utarakan.

Seperti halnya jika kita ingin menjelaskan rasanya durian kepada orang Rusia yang belum pernah makan buah durian sama sekali. Peluang terjadinya perbedaan persepsi sangat besar karena keterbatasan perbendaharaan kata, perbedaan idiom dan perbedaan pengetahuan.

Rasa buah durian menjadi mudah dipahami dan tidak ada perbedaan persepsi, jika kita meminta dia untuk ikut memakannya. Karena itu, latihan harus dilakukan pada tiap-tiap tahapan sebelum Anda melanjutkan bacaannya. Jangan dilewatkan begitu saja. Latihan-latihan tersebut dilakukan di luar shalat. Setelah kita paham bagaimana melakukannya, maka kita tinggal membawanya dalam shalat. Tidak ada dalil ataupun teori baru yang melandasi latihan-latihan tersebut. Saya yakin Anda pernah mendengarnya, hanya mungkin jarang dipraktekkan dalam kegiatan shalat.

Tulisan ini akan lebih berdaya guna jika Anda dapat menyelesaikan seluruh bacaan dan latihannya dalam satu kesempatan sekaligus. Karena itu, lakukanlah persiapan sebelum membaca halaman-halaman berikut ini. Luangkan waktu sekitar 2 jam,

kenakan pakaian yang bersih dan carilah tempat yang tenang sehingga Anda dapat melakukannya dengan baik. Sebaiknya Anda berwudhu dulu, sehingga setelah selesai membaca, Anda dapat langsung mencobanya dengan melakukan shalat sunnah. Mudah-mudahan Allah berkenan menurunkan rasa khusyu' itu kepada kita semua.

Babak I
Kesadaran Berketuhanan

Sebelum kita membahas masalah shalat khusyu' lebih jauh, mari kita mulai latihan kita dengan berdzikir terlebih dahulu dengan menyebut nama Allah sebagaimana latihan di bawah ini.

LATIHAN 1

Setelah melakukan shalat, kita disunnahkan untuk berdzikir: subbahanalllah, alhamdulillah dan Allahu akbar,
masing-masing 33 kali. Sekarang lakukan dzikir, tetapi lafadznya diganti menjadi: Allah, Allah, Allah, sebanyak 33 kali.
Silahkan dimulai.

S T O P Jangan melanjutkan membaca sebelum melakukan latihan di atas.

Setelah selesai berdzikir sebagaimana Latihan 1, apa yang Anda rasakan?
Apakah ada rasa "seerrrr" di dada Anda?
Apakah Anda seperti mau menangis?
Apakah dada Anda terasa seperti bergetar?
Atau malah biasa saja rasanya? Tidak terasa apa-apa.
Simpan dulu jawaban Anda. Mari kita lanjutkan dulu pembahasan kita.

3 golongan manusia

Pada setiap raka’at shalat, kita diwajibkan membaca surat Al Fatihah. Sadar atau tidak sadar, setiap kali kita membacanya, maka pada 2 ayat terakhir kita memohon kepada Allah:
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Seperti apa orang yang diberi petunjuk, orang dimurkai Allah dan orang yang tersesat dapat kita lihat pada surat selanjutnya. Surat Al Baqarah langsung membuka dengan membagi manusia menjadi 3 golongan, yaitu :
 Orang beriman (Al Baqarah : 2-5)
 Orang kafir (Al Baqarah : 6-7)
 Orang munafik (Al Baqarah : 8-20)

Masing-masing dilengkapi dengan ciri-cirinya serta akibat yang akan ditanggung oleh masing- masing golongan manusia tersebut3.

Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yangbertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
damereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan
Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Al Baqarah [2]:2-5).

Orang beriman misalnya, ciri-cirinya adalah percaya kepada yang gaib, mendirikan shalat, menafkahkan sebagian rejekinya untuk bersedekah/zakat, percaya kepada kitab-kitab suci dan hari akhir. Mereka dinyatakan sebagai orang yang selalu mendapat petunjuk dan beruntung.

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat (QS. Al Baqarah [2]:6-7).

Orang kafir cirinya adalah tidak bisa lagi melihat kebenaran. Diberi peringatan atau tidak sama saja karena Allah telah mengunci mata, pendengaran dan hati mereka. Dan bagi mereka siksa yang berat.

Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian," pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar (QS. Al Baqarah [2]:8-9).

Orang munafik dikatakan sebagai orang yang mengaku dia beriman, tapi sebetulnya tidak. Akibatnya, orang munafik ini lebih sulit dikenali. Jika untuk orang beriman hanya perlu Bahan Pengajian Ar-Rahman pimpinan ustad Bahtiar Nasir kelas Basic 1 menggunakan 4 ayat dan orang kafir hanya 2 ayat, maka untuk orang munafik Al Qur’an memerlukan 13 ayat untuk menjelaskannya.


Beberapa cirinya antara lain, mereka biasanya tidak sadar atas keburukan sifatnya sendiri, bahkan merasa dirinya yang lebih benar sehingga dapat menyesatkan orang lain. Mereka merasa lebih pintar dari orang beriman. Mereka sukamengolok-olok orang beriman. Akibat perbuatannya itu, Allah akan mengganjar mereka dengan siksa yang pedih.

Dari 20 ayat pertama di surat Al Baqarah, kita sudah dapat menilai seseorang dan juga diri kita sendiri termasuk pada golongan mana. Selanjutnya ciri dan penjelasan tambahan untuk masing-masing golongan dapat ditemui pada bagian lain di Al Qur'an.

Ciri-ciri yang dijabarkan tersebut akan semakin menambah kejelasan bagi kita untuk menilai setinggi apa keimanan kita saat ini dan sejauh mana kebenaran dari pelaksanaan peribadatan yang telah kita lakukan. Contoh, jika seseorang mengaku beriman tetapi jarang melakukan shalat 5 waktu, termasuk golongan manakah dia? Salah satu jawabannya, bisa kita lihat di surat An Nisaa' [4] : 142 :

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali

Jika kita malas shalat, shalat karena ingin dilihat orang lain, atau lebih banyak memikirkan hal-hal selain Allah ketika shalat, maka sadarilah, bahwa diri kita telah menunjukkan ciri-ciri orang munafik. Waspadalah …. waspadalah ….. waspadalah.

Mengukur kadar keimanan

Sering kita merasa sudah menjadi orang yang beriman karena sudah sudah masuk Islam,mengucapkan dua kalimat syahadat atau mempercayai apa-apa yang dinyatakan dalam rukun iman. Padahal keimanan harus dibuktikan dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi arangannya. Di dalam ayat-ayat Al Qur'an, banyak disebutkan perintah dan larangan yang harus ditaati agar kita menjadi orang yang beriman, misal:

Harus berpuasa (Al Baqaran [2]: 183)
Harus banyak berzikir. (Al Ahzab [33] : 41)
Harus menjadi saksi yang adil (Al Maa'idah [5] : 8)
Dilarang merendahkan orang (Al Hujuraat [49] : 11)
Dilarang menyakiti orang yang diberi sedekah (QS Al Baqarah [2] 264)

Ayat-ayat tersebut, umumnya diawali dengan kata panggilan, "Hai orang-orang yang beriman …". Jika perintah dan larangan tersebut diabaikan, maka bisa dikatakan kita tidak termasuk orang yang beriman, karena kita bukan orang yang terpanggil oleh ayat-ayat itu. Seberapa tinggi tingkat keimanan kita, dapat diukur dengan seberapa lapangnya hati kita mengikutinya.

Orang yang tinggi imannya akan melaksanakan perintah dan larangan tersebut dengan senang hati. Mereka yakin, perintah dan larangan tersebut pasti sesuatu yang baik bagi dirinya sendiri. Selanjutnya, perintah dan larangan tersebut akan menjadi sikap hidupnya sehari-hari. Orang yang lebih rendah imannya akan melaksanakan ayat-ayat tersebut karena takut dosa dan neraka.

Dia akan melaksanakan ayat tersebut meskipun terasa tersiksa hidupnya. Sedang orang yang rendah imannya akan menganalisa dan melakukan banyak pertimbangan untung-ruginya, sebelum melaksanakannya. Dia memilih ayat-ayat yang menguntungkannya, seolah-olah dia lebih pandai dari pada Allah dalam mengatur alam semesta.

Selain itu, ada juga ayat-ayat bukan berupa perintah atau larangan, tetapi banyak juga ayat-ayat yang menggambarkan suasana kejiwaan dan sikap orang yang beriman. Ayat-ayat tersebut juga penting kedudukannya dalam Al Qur’an, karena dengan bercermin kepada ayat tersebut, kita juga dapat mengetahui sampai dimana kadar keimanan kita. Apakah diri kita memiliki ciri seperti orang yang dijelaskan dalam ayat-ayat tersebut. misal:

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. (QS Al Ahqaaf [46] : 13)

Salah satu ciri orang beriman adalah tidak pernah merasa khawatir dan tidak pula berduka cita. Hidupnya selalu bahagia. Kebahagiaan itu sudah dirasakan sejak hidup di dunia hingga nanti diakhirat. Mereka sangat percaya kepada firman Allah yang tertulis di Al Qur'an. Mereka percaya, bahwa Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, tidak mungkin Allah akan merugikan hamba-Nya. Mereka tidak pernah khawatir akan masa depan, karena tahu bahwa Allah telah menjamin rejekinya sejak lahir sampai mati nanti.

Ketika masih menjadi bayi yang tidak mampu mengurus diri sendiri, Allah telah mengirimkan kepada kita orang-orang yang menyayangi kita. Memberi makan, memandikan, mengasuh, hingga kita mandiri. Lalu Allah memberikan kepandaian, kekuatan dan rejeki terus menerus hingga menjadi dewasa seperti sekarang ini. Setelah kita hidup dan menikmati rejeki dari Allah, kenapa kita masih saja tidak percaya bahwa Allah Maha Pemberi Rejeki?

Ketika terjadi musibah, orang beriman tidak berduka yang berkepanjangan. Mereka sabar dan tenang menghadapinya. Mereka percaya, bahwa ini adalah ketetapan yang terbaik dari Allah SWT, karena Allah Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Karena itu merekamenunggu denan penuh harapan, kebaikan apa yang akan Allah berikan setelah musibah ini berlalu.

Dengan melihat ayat itu, maka jika kita selalu khawatir akan apa akan terjadi atau terlalu sedih dan menyesali terhadap sesuatu yang telah terjadi, hal itu menandakan ada sesuatu yang salah dalam keimanan kita. Kita belum sepenuhnya percaya, bahwa Allah mampu mengatur alam semesta dengan sempurna. Sekarang marilah kita melihat lagi salah satu ciri dari orang yang beriman yang disebutkandalam Al Qur’an :

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (QS : Al Anfaal [8]:2).

Berdasarkan ayat tersebut, salah satu ciri orang beriman adalah jika disebut nama Allah maka hatinya akan bergetar. Apa yang Anda rasakan ketika melakukan Latihan 1 tadi? Apakah hati Anda bergetar? Mudah-mudahan Anda merasakannya.Dari pengalaman saya mengajak orang melakukan Latihan 1, sangat sedikit sekali yang merasakan dadanya bergetar. Beberapa merasakan "seeerrr", ingin menangis atau merasa ketenangan. Sebagian besar tidak merasakan apa-apa. Apakah mereka yang tidak merasa apa- apa artinya tidak beriman? Bagaimana dengan Anda?

Saya yakin, bahwa Anda yang membaca tulisan ini termasuk orang yang beriman. Tapi kenapa tanda-tanda orang beriman tidak muncul ketika kita menyebut nama Allah? Apakah hati kitatelah sekeras batu? Atau kita termasuk orang munafik? Mari kita lihat dimana letak permasalahannya.

Dzikirlah sebanyak-banyaknya

Ketika tadi Anda berdzikir, manakah yang lebih diperhatikan : hitungannya atau Allah-nya?.Seringkali kita tidak sadar, ketika berdzikir, kita terlalu memperhatikan jumlah hitungan yang harus dicapai. Seolah-olah jumlah hitungan itu sangat penting sehingga kalau meleset, gugurlah pahala dzikir kita. Kita menjadi lupa, bahwa tujuan berdzikir adalah untuk mengingat Allah bukan menghitung bacaan.

Saya tidak menampik banyak hadits yang mengajarkan kita untuk berdzikir dalam jumlah tertentu. Ada yang hanya 3 kali, 33 kali, 100 kali, atau bilangan lainnya, tetapi Al Qur'an menganjurkan lebih dari itu :

Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. (QS : Al Ahzab [33] : 41). Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. (QS : An Nisaa' [4]:103)

Kesemuanya mengajarkan dzikir tanpa hitungan, sebanyak-banyaknya dan setiap saat. Salahkan Rasulullah mengajarkan hitungan? Tentu tidak. Seperti halnya tidak bersalahnya orang tua kita, yang pada waktu kita masih kecil, menyuruh kita berpuasa setengah hari lamanya. Semuanya semata-mata agar kita belajar dan segera memulai perbuatan baik yang diperintahkan Allah. Selanjutnya harus tahu dan berusaha mencapai target sesungguhnya yang Allah ajarkan.

Sang pencipta langit dan bumi bernama Allah

Ketika Anda menyebut nama Allah, kemanakah pikiran Anda menuju? Nama adalah sebuah simbol dari pemiliknya. Ketika kita menyebut kata “SBY” maka pikiran kita langsung mengarah kepada sosok gagah berwibawa, yang jika berbicara tutur katanyantertata dengan baik, yang menjadi Presiden RI. Ketika kita menyebut kata “ibu”, maka pikiran kita langsung mengarah kepada wanita yang melahirkan kita, melindungi dan menyayangi kita. Wanita yang mengurus dan mendidik kita ketika kita masih kecil. Tetapi ketika menyebutan Allah, kita menjadi bingung dalam membayangkan “sosok” Tuhan.

Ketika kita menyebut nama Allah, tidak perlu kita membayangkan sosok Allah, karena kita tidak akan mampu melakukannya. Allah tidak serupa dengan apapun juga, maka apapun yang kita bayangkan mengenai wujud Allah pasti salah. Cukup sadari saja, bahwa yang kita panggil atau sebut nama-Nya itu adalah nama Dzat pencipta langit dan bumi. Dialah Tuhan yang menciptakan kita. Tuhan yang memberi kita hidup lalu memberi kita rejeki sepanjang hidup kita. Tuhan yang sangat berkuasa, bahkan setelah kita mati sekalipun. Dialah yang menetapkan siapa yang berhak masuk surga dan siapa yang dikirim ke neraka.

Saya ingin memberikan gambaran yang lebih jelas untuk memperbandingkan siapa Allah dan siapa kita ini agar kesadaran kita menjadi lebih terbuka. Andaikan bumi ini sebesar buah jeruk, maka manusia tak lebih besar dari debu-debu halusatau sel kulit. Kita naikkan skala perbandingannya. Jika matahari sebesar jeruk, maka bumi kira-kira hanya sebesar butiran nasi. Manusia, mungkin tak lebih besar dari molekul yang membentuk kulit jeruk. Kita naikkan lagi skala perbandingannya.

Jika galaksi Bima Sakti memiliki diameter sebesar jeruk, maka matahari hanyalah sebesar debu. Bumi mungkin sebesar sel-sel kulit jeruk. Manusia hanyalah seperti elektron-elektron. Kita naikkan lagi skala perbandingannya lebih jauh lagi. Jika alam semesta ini yang kita kenal sekarang ini sebesar ruang keluarga Anda, maka galaksi hanya sebesar debu atau pasir. Matahari hanyalah seperti bakteri atau virus yang berterbangan di udara. Bumi mungkin hanyalah sebesar atom oksigen. Manusia? Masihkah manusia bisa disebut sebagai ada? Kita tidak ada apa-apanya di alam semesta ini, sementara Allah Sang Pencipta lebih besar dari alam semesta itu sendiri.

Sekarang setelah kita sadar kekeliruan kita dalam berdzikir dan setelah sadar seberapa besarnya diri kita dan betapa besarnya Allah, marilah kita ulangi lagi apa yang telah kita lakukan di latihan sebelumnya sebagaimana di bawah ini.

LATIHAN 2

Duduklah seperti duduk diantara dua sujud (duduk i’tiraj).
Kendorkan badan lalu tundukkanlah hati Anda serendah-rendahnya.
Lalu amati nafas kita. Amati saja tidak perlu diatur.

Amati bahwa nafas kita bergerak sendiri tanpa kita perintah.
Mereka bergerak karena digerakkan Dzat yang memberi kita hidup.
Sadari, bahwa yang akan kita sebut nama Nya adalah nama Dzat yang memberi kitahidup.Nama Dzat yang menciptakan langit dan bumi. Nama Dzat Yang Maha Besar, Dzat Yang Maha Agung
Sekarang panggilah nama Dzat yang Maha Besar tanpa menghitung-hitung jumlahnya.Panggilah dengan rendah hati dan suara lembut:
Allah…
(diam dan rasakan bagaimana Allah merespon panggilan Anda)
Allah…
(diam dan amati apa yang Anda rasakan)
Allah … Allah … Allah …
(panggilan nama Nya secara pelahan-lahan sampai Anda merasa cukup)
Silahkan dimulai.

S T O P Jangan melanjutkan membaca sebelum melakukan latihan di atas.
Sekarang apa yang Anda rasakan? Mudah-mudahan Anda merasakan getaran atau "sesuatu" di dalam dada sebagai salah satu tanda keimanan kepada Allah. Mudah-mudahan Anda tidak termasuk sebagaimana orang yang disebutkan dalam surat Al Hujuraat [49] : 14 dibawah ini.

Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

Berbuat dengan penuh kesadaran

Bagi yang bisa merasakan perbedaannya, mari kita evaluasi kenapa bisa terjadi perbedaan antara Latihan 1 dengan Latihan 2? Pada Latihan 2 kita melakukannya dengan penuh kesadaran. Kita sadar, siapa yang namanya kita sebut. Karena kita sadar, kita jadi mengerti bagaimana kita harus bersikap dan mengamati apa yang sedang terjadi terhadap apa yang kita lakukan. Kesadaran seperti itu biasa disebut sebagai NIAT.

Niat menurut syara' adalah keinginan untuk melakukan sesuatu yang diikuti dengan perbuatan4. Dari definisi tersebut, dapat dikatakan niat ada sepanjang perbuatan tersebut dilakukan. Niat dalam shalat bukan sekedar mengucapkan "ushalii". Bahkan mengucapkan"ushalii" bukan merupakan bagian dari shalat.

Shalat menurut definisi syar'i adalah ibadah yang terdiri dari rangkaian bacaan dan gerakan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam5. Sementara itu, mengucapkan "ushalii" terletak sebelum takbir, artinya diluar kegiatan shalat. “Ushalii” hanya sekedar bacaan yang membantu mengingatkan kita agar kita melakukan shalat dengan penuh niat, dalam arti sungguh-sungguh menghadapkan diri ke Allah sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan.

Niat dalam shalat harus ada sepanjang shalat tersebut dilakukan, sejak takbir sampai dengan salam. Jadi takbirlah dengan niat, bacalah Al Fatihah dengan niat, rukuk-lah dengan niat, dan Seterusnya sampai dengan salam. Artinya ketika takbir kita sadar, bahwa ketika itu kita sedang mengagungkan kebesaran Allah.


Ketika membaca Al Fatihah, kita sadar, bahwa ketika itu kita sedang memulai berkomunikasi dengan Allah. Ketika kita rukuk, kita sadar, bahwa ketika itu kita sedang menundukkan diri di hadapan Allah SWT. Demikian seterusnya kita selalu melakukan gerakan dan bacaan shalat dengan penuh kesadaran hingga kita mengucapkan salam untuk menebarkan keselamatan ke sekeliling kita.

Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar, Fiqih Niat, terjemahan bahasa Indonesia oleh Faisal Saleh, LC. Gema Insani. Cetakan I tahun 2006. Halaman 12.
5 Ibid

Babak II
Tunduk dalam Kepasrahan

Masih ingatkah pelajaran rukun shalat yang pernah kita terima ketika kita masih duduk di bangku SD, SMP atau SMA?. Secara ringkas, rukun shalat adalah sebagai berikut :
 Niat
 Takbir
 Berdiri
 Membaca Al Fatihah
 Rukuk
 Itidal
 Sujud
 Duduk diantara dua sujud
 Tahiyyad akhir
 Salam
Beberapa mahzab ada yang menambahkan rukun shalat dengan tu'maninah, tertib dan berurutan, serta sedikit variasi di dalam detail masing-masing rukunnya.
Evaluasi pelaksanaan rukun shalat

Saya tidak akan membahas secara detail masalah rukun shalat disini. Rasanya sudah sangat sering dibahas dan sangat banyak buku-buku yang menulis tentangnya. Saya hanya ingin mengajak Anda untuk melihat kembali apakah rukun shalat tersebut sudah dilakukan dengan benar?

Pada bab sebelumnya kita sudah membahas masalah niat. Sekarang mari kita lihat rukun yang lainnya lagi.Coba kita perhatikan rukun shalat di atas. Bacaan apa saja yang dimasukkan ke dalam rukun shalat? Jawabannya adalah Al Fatihah dan tahiyyad akhir (shalawat). Dapat juga ditambahkan dengan takbir dan salam yang juga harus diucapkan. Bacaan lainnya adalah sunnah. Jika dibaca menambah pahala, jika ditinggalkan tidak membatalkan shalatnya.

Jika demikian, apakah yang wajib dilakukan ketika rukuk atau sujud? Pertanyaan ini sederhana saja sifatnya, tapi selama ini banyak yang tidak memperhatikannya sehingga bingung menjawabnya. Jawabnya adalah gerakan rukuk dan sujud itu sendiri. Jika kita tidak membungkukkan dan menyujudkan badan maka shalat kita tidak sah, kecuali jika kita sedang uzur tentunya. Sedangkan bacaan di dalamnya adalah sunnah, tidak dibaca tidak apa-apa.Shalat kita tetap sah.

Coba kita ingat kembali pelaksanaan shalat yang selama ini telah kita lakukan. Manakah yang lebih kita perhatikan ketika kita melakukan rukuk dan sujud? Bacaan atau gerakan? Banyak sekali orang mengira bahwa dia memperhatikan kedua-duanya, tetapi coba kita ingat-ingat kembali :

Pernahkah kita memperhatikan apakah gerakan rukuk dan sujud kita telah sempurna? Apakah punggung kita telah lurus sehingga jika diletakkan gelas berisi air tidak tumpah? Apakah kita telah mengamalkan gerakan rukuk dan sujud sebagaimana dijelaskan dalam hadits di bawah ini?

Abu Humaid As-Sa'idi r.a berkata, "Aku mengingat shalat Rasulullah Saw lebih baik daripada siapa pun diantara kalian. Aku melihat Nabi Saw mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahunya dan mengucapkan takbir, dan ketika rukuk Nabi Saw meletakkan kedua (telapak) tangannya di atas dua lututnya dan punggungnya membungkuk lurus, kemudian setelah bangkit dari rukuk Nabi Saw berdiri tegak hingga semua tulang punggungnya berada dalam posisi normal.

Ketika sujud, Nabi Saw meletakkan kedua (telapak) tangannya di atas tanah dan menjauhkan lengan bagian bawahnya dari tanah dan tubuhnya, dan jari jemari (kakinya) menghadap ke arah kiblat. Ketika duduk pada rakaat kedua, Nabi Saw duduk diatas kaki kirinya dan menyangga kakinya sebelah kanan; dan pada rakaat terakhir Nabi Saw menekan kakinya sebelah kiri kedepan dan menopang kakinya sebelah kanan dan duduk diatas pinggulnya". (1:791 - Shahih Al Bukhari).

Bacaan bukan panglima

Sadar atau tidak sadar, bacaan bagi kebanyakan kita telah menjadi panglima dalam shalat.Cepat-lambat atau panjang pendeknya bacaan telah menentukan lamanya shalat. Perpindahan antara satu gerakan ke gerakan lain dalam shalat ditentukan oleh selesainya bacaan, seolah- olah bacaan menjadi aba-aba dalam shalat. Begitu kita selesai membaca bacaan sujud 3x, maka segera kita bergerak untuk duduk. Begitu selesai menyampaikan 8 permohonan disaat duduk diantara 2 sujud, kita langsung bergerak untuk sujud kembali.

Kebiasaan ini mungkin dilakukan karena mencontoh dari apa yang kita lihat ketika shalat berjamaah. Dalam shalat berjamaah, setelah selesai membaca Al Fatihah dan surat pendek,imam shalat biasanya akan mengucapkan takbir sebagai tanda kita harus rukuk. Kita lalu mengambil kesimpulan, bahwa selesainya bacaan shalat menjadi batas lamanya gerakan shalat yang lainnya. Padahal tolok ukurnya berbeda. Ketika kita berdiri membaca Al Fatihah, bacaannya adalah wajib. Sedang ketika rukuk, itidal, sujud dan duduk, bacaannya sunnah, yang wajib adalah gerakannya.

Mungkin Anda bertanya-tanya, jika bukan bacaan lalu apa yang menentukan lamanya gerakan rukuk, i’tidal, sujud dan duduk? Marilah kita lihat apa yang diajarkan Nabi ketika memberikan pelatihan shalat secara singkat kepada seseorang sebagaimana hadits dibawah ini.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah: Rasulullah Saw masuk ke dalam masjid dan seseorang mengikutinya. Orang itu mengerjakan shalat kemudian menemui Nabi Saw dan mengucapkan salam. Nabi Saw membalas salamnya dan berkata, "Kembalilah dan shalatlah karena kau belum shalat".
Orang mengerjakan shalat dengan cara sebelumnya, kemudian menemui dan mengucapkan salam kepada Nabi Saw. Beliau pun kembali berkata, "Kembalilah dan shalatlah karena kau belum shalat". Hal ituterjadi tiga kali. Orang itu berkata, "Demi Dia yang mengutus engkau dengan kebenaran, aku tidak dapat mengerjakan shalat dengan cara yang lebih baik selain cara ini. Ajarilah aku bagaimana cara shalat".
Nabi Saw bersabda, "Ketika kau berdiri untuk shalat, ucapkan takbir lalu bacalah (surah) dari Al Quran kemudian rukuklah hingga kau merasa tenang (thuma'ninah). Kemudia angkatlah kepalamu dan berdiri lurus, lalu sujudlah hingga kau merasa tenang selama sujudmu, kemudian duduklah dengan tenang, dan kerjakanlah hal yang sama dalam setiap shalatmu".
(1:724 - Shahih Al Bukhari).

Jika kita membaca hadits diatas, kita bisa duga, bahwa orang itu sudah mengetahui bacaan dan gerakan-gerakan shalat. Tapi mungkin pelaksanaan dilakukan secara terburu-buru. Karena itu, Nabi tidak lagi mengajarkan bacaan dan dasar-dasar shalat lainnya. Nabi mengajarkan apa yang perlu diperbaiki oleh orang itu. Beliau mengajarkan, bahwa lamanya gerakan shalat, khususnya ketika ruku', sujud dan duduk, bukanlah ditentukan oleh selesainya bacaan, tetapi sampai kita merasa tenang.

Mungkin orang itu sama seperti kita. Kita hafal seluruh bacaan shalat, tahu gerakan-gerakan shalat dan mungkin juga seluk beluk shalat lainnya. Kita merasa shalat kita sudah sempurna seperti yang dicontohkan Nabi. Kita sering tidak sadar, ketika shalat kita sering membaca bacaan dengan cepat agar shalat kita cepat selesai. Ternyata shalat semacam itu dipandang Nabi hanya seperti angin lalu saja. Sia-sia. Diulang berkali-kali pun tidak ada gunanya.

Rukun shalat yang dilupakan

Kesempurnaan gerakan tidak mungkin dicapai jika kita terburu-buru dalam melaksanakan shalat. Gerakan-gerakan shalat harus dilakukan dengan perlahan-lahan dan penuh perasaan.Dalam rukun shalat, hal itu disebut sebagai THUMA'NINAH. Thuma'ninah diartikan sebagai berhenti sebentar dalam setiap gerakan hingga seluruh tulang dan persendian kembali pada posisi yang tepat dan tubuh terasa tenang.

Thuma'ninah sebetulnya termasuk dalam rukun shalat pada sebagian besar mahzab. Ada yang dinyatakan sebagai salah satu rukun, ada pula yang digabung dengan rukun lain. Mahzab Syafi’i yang dianut oleh sebagian besar orang Indonesia menggabungkan thuma'ninah dalam rukun yang lain, seperti rukuk dengan thuma'ninah, sujud dengan thuma'ninah, duduk dengan thuma'ninah.


Tetapi karena thuma'ninah bukan merupakan gerakan atau bacaan, maka dia sering dilupakan orang. Padahal sebagai rukun, sebetulnya thuma'ninah tidak boleh ditinggalkan. Shalat tanpa thuma'ninah kira-kira sama dengan shalat tanpa bertakbir atau tanpa membaca Al Fatihah atau tanpa salam. Artinya, shalat tersebut tidak sah! Berikut ini adalah tabel perbandingan rukun shalat dalam 4 mahzab. 6

Gerakan yang menghantarkan jiwa

Gerakan tubuh sangat penting untuk menghantarkan hati dan jiwa mencapai ketundukan dan kerendahan dihadapan Allah. Untuk lebih memahaminya mari kita lakukan latihan berikut ini.

LATIHAN 3













Duduklah seperti duduk diantara dua sujud.Kepalkan telapak tangan di depan dada dengan kuat.Busungkan dada dan kepala agak menengadah.
Katakan dalam hati : "Aku pasrah, aku pasrah, aku pasrah ……"
Amati apa yang Anda rasakan










Setelah selesai kendorkan badan. Tundukkan kepala. Letakkan tangan menelungkup diatas paha. Katakan sekali lagi :"Aku pasrah, aku pasrah, aku pasrah ……"
Amati apa yang Anda rasakan.

S T O P Jangan melanjutkan membaca sebelum melakukan latihan di atas.

Coba bandingkan, manakah yang lebih terasa pasrah? Posisi yang pertama atau yang kedua? Umumnya orang merasakan posisi yang kedua yang lebih terasa pasrah. Ketika tubuh rileks dan membungkuk, maka akan lebih mudah bagi orang untuk mencapai posisi kepasrahan diri.

Sebaliknya, sangat sulit mencapai posisi pasrah atau rendah hati jika tubuh tegang dan dada membusung, sikap tubuh yang biasanya terdapat pada orang sombong dan angkuh.Sekarang kita lanjutkan dengan lakukan latihan berikutnya.

LATIHAN 4
Duduklah seperti duduk diantara dua sujud dengan posisi seperti Latihan 3 bagian yang kedua. Kendorkan badan. Tundukan kepala. Letakkan tangan menelungkup diatas paha. Lalu katakan: "Aku pasrah, aku pasrah, aku pasrah ……"
Amati apa yang Anda rasakan.

Lalu, langsung teruskan kepasrahan Anda. Kali tanpa kata-kata, tanpa bacaan. Pasrahkan saja dan rendahkanlah hati Anda, lalu biarkan tubuh Anda lerem, bergerak mengikuti kepasrahan. Jika tubuh Anda cenderung untuk condong kedepan, ikuti saja, jangan ditahan.Teruslah untuk semakin pasrah dan rela. Amati lagi apa yang Anda rasakan

S T O P Jangan melanjutkan membaca sebelum melakukan latihan di atas

Coba bandingkan apa yang Anda rasakan. Manakah yang terasa lebih pasrah dan lebih enak,yang menggunakan kata-kata atau yang tanpa kata-kata? Hampir semua orang yang pernah melakukan Latihan 4 mengatakan, bahwa yang lebih terasa enak adalah yang tanpa kata-kata!

Ketika kita menggunakan kata-kata, otak kiri yang berkaitan dengan logika, hafalan, sekuensial, akan berperan aktif. Ketika kita pasrah tanpa kata-kata, maka otak kiri tidak lagi aktif. Otak kanan yang berkaitan dengan rasa, emosi, acak, yang berperan aktif. Akibatnya lebih terasa enak.
Ketika hati kita pasrah atau tunduk dalam keadaan diam (tanpa kata), maka pikiran kita bergerak mengikuti naluri. Tubuh pun ikut pasrah sehingga otot-otot lebih kendor dan terasa rileks. Jika kepasrahan itu diteruskan dan diikuti dengan sepenuh hati, maka orang akan tersujud dengan sendirinya. Sujud yang bukan dari perintah otak, tetapi sujud yang muncul dari hati yang berserah diri.


Rukuk dan sujud dengan penuh kerendahan

Dari banyak gerakan-gerakan shalat, gerakan rukuk dan sujud adalah yang paling penting. Dalam beberapa ayat di dalam Al Qur'an, rukuk dan sujud kadang digunakan sebagai pengganti kata shalat, misalnya saja surat Al Hajj : 26.

Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud”.

Rukuk dan sujud sedemikian penting, sehingga Nabi memerintahkan untuk menyempurnakannya.

Hadis riwayat Anas bin Malik ra.: Dari Nabi saw., Beliau bersabda:Sempurnakanlah rukuk dan sujud, demi Allah, sesungguhnya aku dapat melihat engkau di belakangku (kemungkinan bersabda: yang di belakang punggungku) saat engkau rukuk atau sujud. (Shahih Muslim No.644)

Bahkan ketidaksempurnaan dalam melakukan rukuk dan sujud dinilai Nabi seperti orang yang mencuri di dalam shalat, sebagaimana hadits berikut ini.

Dari Qatadah RA, dia berkata, Rasulullah saw pernah bersabda, "Paling jelek manusia dalam mencuri adalah orang yang mencuri sebagian shalatnya". Ada seorang sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, bagaimanakah dia mencuri shalatnya?". Rasulullah saw menjawab: "Dia tidak menyempurnakan rukuk shalat itu dan tidak pula menyempurnakan sujudnya".

Rukuk dan sujud sangat penting untuk membantu kita meraih kekhusyu'an. Gerakan rukuk dan sujud akan membantu jiwa mencapai ketundukan dan kerendahan. Sikap tubuh yang membungkuk pada rukuk akan membantu jiwa kita untuk tunduk dan hormat kepada Allah.

Demikian pula meletakkan kepala pada posisi yang paling rendah, akan membantu kita untukmerendahkan diri dihadapan Allah. Jika rukuk dan sujud tidak sempurna, maka dapat dipastikan, bahwa jiwa kita belum mencapai ketundukkan dan kerendahan sebagaimana yang diharapkan. Artinya, tidak mungkin meraih kesempurnaan shalat, yaitu turunnya rasa khusyu', rasa tunduk, rendah dan tenang dihadapan Allah.

Sayangnya, justru gerakan rukuk dan sujud ini yang paling banyak salah dilakukan. Pada rukuk,kesalahan yang paling sering terjadi adalah punggung melengkung, kepala menekuk terlalu dalam dan tangan diletakkan di bawah atau diatas lutut. Sedangkan yang sering salah dilakukan orang adalah punggung yang melengkung atau siku jatuh hingga menempel ke lantai.

Foto rukuk dan sujud yang salah.

Kepala terlalu membungkuk
Punggung melengkung
Siku menyentuh lantai














LATIHAN 5

Pada latihan ini, kita melatih gerakan rukuk dan sujud agar lebih sempurna dan lebih terasa enak ditubuh sehingga lebih mudah meraih rasa tenang dalam gerakan itu.
Berdirilah dengan tegak, lalu angkatlah kepala menengadah sehingga Anda melihat lurus keatas agak kebelakang sedikit. Pertahankan posisi tersebut beberapa saat. Rasakan tulang punggung Anda agak tertarik sedikit.

Kira-kira seperti itulah rasanya tulang punggung Anda ketika rukuk dengan tepat. Coba Anda bergerak rukuk dengan tetap mempertahankan posisi tulang punggung Anda. Jadikan pinggung Anda sebagai poros gerakan.














Ulangi beberapa kali sehingga Anda dapat meraih posisi rukuk yang benar dengan cepat. Ambillah posisi seperti orang sedang merangkak. Tempatkan tangan kira-kira 2 jengkal dari lutut.

Diam dengan santai beberapa saat. Biarkan hingga tulang punggung Anda jatuh tertarik oleh gravitasi bumi. Biarkan beberapa saat, lalu letakkan kepala Anda ke lantai untuk bersujud.

Perhatikan kedua tangan Anda. Jangan sampai sikunya menyentuh tanah dan aturlah pembagian beban agar kepala tidak menanggung berat yang terlalu besar.Turunkan bahu Anda, kendorkan ruas-ruas tulang punggung Anda lalu diamlah hingga tubuh terasa rileks.








Ulangi beberapa kali sampai Anda dapat meraih posisi sujud dengan cepat.

S T O P Jangan melanjutkan membaca sebelum melakukan latihan di atas

Sempurnakan sujud dan rukuk

Gerakan rukuk dan sujud tidak akan sempurna jika hati kita tidak melakukan hal yang sama.Hati yang tunduk akan mengantarkan seluruh bagian tubuh kita tunduk pula. Hati sedemikian berpengaruhnya bagi tubuh kita, sehingga Nabi mengatakan bahwa jika hati baik maka seluruh tubuh kita akan ikut baik.

“Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging, jika ia baik, maka baiklah jasad seluruhnya; jika ia rusak, maka rusaklah jasad seluruhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Imam Bukhari dan Muslim).

Setelah kita dapat melakukan gerakan rukuk dan sujud dengan baik, kini kita sempurnakan dengan hati yang ikut pula tunduk dan merendah dihadapan Allah sebagaimana latihan di bawah ini.

LATIHAN 6

Duduklah seperti duduk diantara dua sujud. Dapat juga dilakukan sambil berdiri. Memejamkan mata akan lebih baik agar suasana di sekeliling tidak mengganggu. Niatkan hati Anda untuk tunduk dan pasrah.

Rasakan, begitu selesai Anda berniat, akan terasa seperti ada tuntunan atau dorongan untuk tunduk. Jika Anda ikuti dorongan itu, maka diri Anda semakin terbawa untuk lebih tunduk lagi. Cobalah beberapa kali sampai Anda mudah mengikuti dorongan ketundukan itu.

Kemudian lalukanlah ketundukan secara total hingga Anda tersujud dengan sendirinya. Setelah tersujud, jangan berhenti.

Biarkanlah jiwa Anda mengikut ketundukan itu semakin dalam, sampai terasa masuk menembus ke dalam bumi. Teruslah ikut dorongan ketundukan itu sampai jiwa Anda tak sanggup lagi mengikutinya.

Setelah itu pujilah Allah sebagaimana bacaan ketika kita sujud:
"Subhahaana rabbial a'la wabi hamdi"
Sampaikan pujian dari hati yang paling dalam. Hati yang sedang dalam ketundukan. Setiap kali memuji, rendahkan lagi hati Anda lebih dalam lagi.
Lalu diamlah dengan rela kepada Allah sampai Anda puas.

S T O P Jangan melanjutkan membaca sebelum melakukan latihan di atas

Dalam latihan tadi, saya mengajak Anda untuk betul-betul merendahkan diri di hadapan Allah. Dalam ketundukan tersebut peran hati dan jiwa sangat penting. Tubuh sekedar mengikuti gerakan jiwa kita. Meskipun demikian, sikap tubuh yang sempurna akan lebih membantu.

Babak III
Berdialog dengan Allah

Sering kita mendengar pendapat, bahwa pada saat shalat sesungguhnya kita sedang berjumpa dengan Allah. Rasulullah saw pun bersabda : Ash shalaatu mi'rajul mu'miniin. Bahwa, shalat itu adalah mi'rajnya orang-orang yang beriman. Shalat diumpamakan sebagaimana halnya Nabi mi'raj. Seorang hamba diperjalankan untuk datang, mendekat, menemui Tuhannya. Dalam mi'raj itu, Nabi berdialog dengan Allah dan menerima perintah shalat. Konon, salah satu bagian dari dialog itu diabadikan dalam bacaan tahiyyad awal.

Setelah membaca Lauhil mahfuz ditempat alam tertinggi berdiri Arasy Allah, maka berkatalah Muhammad : "Attahiyyatu lillaah, wa shalawaatu thayiibaat” (Seluruh penghormatan hanya untuk ya Allah, begitu juga seluruh keselamatan dan kebaikan). Allah menjawab: "Assalaamu’alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullaahi wabarakaatuh" (Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepadamu, wahai Nabi, serta rahmat Allah dan berkat Nya.).
Nabi menjawab: "Assalamu'alaina wa alaa ibaadilllahis shalihin" (Limpahkanlah kesejahteraan bagi kami, juga kepada hamba Allah yang saleh). Dengan takjub malaikat ramai-ramai menunjuk dan berkata: "Asyhadu alaa ilaaha ilallaah wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullah". 7suatu dialog yang penuh kesantunan dan kasih sayang antara seorang hamba dengan penciptanya.

Allah menjawab setiap pujian dan doa

Shalat secara bahasa berarti do’a. Doa pada hakikatnya merupakan bentuk dialog antara manusia dengan Allah Swt. Ketika seseorang shalat, hakekatnya ia sedang bertemu dan berdialog dengan Allah Swt.. Oleh karena itu secara hakiki fungsi shalat dan mi’raj sama yaitu bertemu dan berdialog dengan Allah Swt.

Ketika kita bertakbir dan memuji Allah, sesungguhnya Allah menjawab pujian itu. Ketika kita membawa surat Al Fatihah, sesungguhnya Allah meresponnya, sebagaimana dinyatakan dalam satu hadits qudsi dari hadits riwayat Muslim dalam kitab Shalat no. (38) (395) dari Abu Hurairah R.A, bahwa :

Riwayat seperti ini meskipun tertulis dalam beberapa kitab tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj menurut www.darulfatwa.org.au adalah kisah yang tidak sahih (benar).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Aku membagi shalat (yakni surat Al-Fatihah) menjadi dua bagian, separuh untuk-Ku dan separuh untuk hamba-Ku. Apabila ia membaca: ‘Segala puji bagi Allah’. Maka Allah menjawab : ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’. Apabila ia membaca : ‘Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’. Maka Allah menjawab: ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku’.

Apabila ia membaca : ‘Penguasa hari pembalasan’. Maka Allah menjawab: ‘Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku’. Apabila ia membaca: ‘Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan’. Maka Allah menjawab : ‘Ini separoh untuk-Ku dan separoh untuk hamba-Ku’. Apabila ia membaca : ‘Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus’. Maka Allah menjawab : ‘Ini untuk hamba-Ku, akan Aku kabulkan apa yang ia minta.’”

Demikian pula ketika kita berdoa saat duduk diantara dua sujud. Secara khusus kita.Bersimpuh dihadapan Allah untuk menyampaikan 8 permohonan kepadanya.

Rabbighfirlii (ampuni aku)
Warhamnii (sayangi aku)
Wajburnii (tutupi aib-aibku)
Warfa’nii (angkat derajatku)
Warzuqnii (beri aku rizki)
Wahdinii (beri aku petunjuk)
Wa’afinii (sehatkan aku)
Wa’fuani (maafkan aku).

Ketika itu, sesungguhnya kita sedang berdialog dengan Allah. Dari setiap apa yang kita minta,sesungguhnya Allah memberikan jawaban atas permohonan atau doa kita tersebut, sebagaimana firman Nya :

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al Baqarah [2] : 186)

Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku[1326] akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." (QS. Al Mu'min [40] : 60).

Yang menjadi permasalahan dan pertanyaan adalah apakah kita pernah merasakan jawaban atau respon Allah tersebut? Hampir kita tidak pernah merasakannya, sehingga kadang muncul sangkaan, bahwa Allah tidak mendengar doa kita, bahkan mungkin merasa doa kita tidak sampai ke Allah.

Ada juga yang berpendapat, bahwa hanya doa orang-orang yang suci hatinya, setingkat nabi atau minimal wali, yang didengar oleh Allah. Padahal kita semua tahu, bahwa Allah Maha Mendengar, Maha Dekat dan Maha Pengabul Doa, tapi seberapakah percayanya kita?

Komunikasi dua arah

Sebenarnya kalau kita perhatikan, permasalahannya bukan kepada apakah Allah menjawab doa ataupun menyambut dialog kita ketika sedang shalat, tetapi lebih kepada sikap kita dalam berkomunikasi.

Dalam sebuah dialog, maka akan terjadi komunikasi timbal balik. Ketika si A berkata, seyogyanya si B mendengarkan. Setelah selesai, maka si B akan menjawab atau memberikan tanggapan dan si A ganti yang mendengarkan dengan seksama jawaban si B. Jika satu pihak hanya asyik berbicara sendiri tanpa mempedulikan lawan bicaranya, maka akan terjadi dialog yang timpang. Pihak yang asyik berbicara sendiri tidak akan mendapat jawaban pertanyaannya, solusi atas permasalahan yang diutarakan ataupun respek dari lawan bicaranya.

Hal ini seringkali terjadi dalam shalat dan doa kita. Ketika kita shalat atau berdoa, kita asyik membaca bacaan shalat atau bacaan doa yang telah kita hafal. Sering kali bacaan shalat atau doa dilafadzkan dengan cepat tanpa kita sadari maknanya. Seolah-olah bacaan shalat yang terdiri dari pujian dan permohonan itu adalah mantra atau aba-aba saja.

Ketika kita berdoa saat duduk diantara dua sujud, kita mengucapkannya dengan cepat: Rabbighfirlii, warhamnii, wajburni, warfa’ni, warzuqnii, wahdinii, wa’afinii, wa’fuani. Delapan permohonan kita sampaikan tanpa jeda. Lalu tanpa basa-basi kita langsung sujud. Seolah-olah kita tidak butuh dengan apa yang kita mohonkan.

Andaikan bacaan itu kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia, lalu kita sampaikan permintaan yang kira-kita sama bentuknya kepada Presiden RI, tentu akan lain ceritanya.
Pak Presiden, ampuni kesalahan saya…. (sambil melihat ekspresi wajahnya dengan harap- harap cemas, mudah-mudahan Beliau tidak marah dan tersenyum). Sayangi rakyatmu ini …… (sambil membungkuk mengharapkan Presiden membelai kepala dan pundak kita) Mohon jangan diumumkan kekhalayak ramai keburukan saya (sambil kita memasang muka yang memelas)

Mohon Paduka naikkan pangkat dan jabatan saya (sambil kita menggenggam erat tangan Presiden) Mohon Paduka juga menaikkan gaji saya agar dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga dan ada sedikit sisa untuk simpanan (ekspresi muka dibuat semakin memelas) Mohon petunjuk Pak Presiden untuk menyelesaikan urusan kami (sambil tersenyum simpatik berusaha meyakinkan)

Mohon bantuan obat-obatan dan biaya rumah sakit agar kami dapat mengobati penyakit- penyakit kami (sambil menujukkan bagian tubuh kita yang sakit dan bekas luka) Maafkan kami Paduka (lalu beringsut mengundurkan diri dengan penuh sopan santun lalu).

Coba bandingkan dengan sikap kita ketika berdoa. Betapa seringkali kita menyepelekan Allah. Mentang-mentang Allah tidak kelihatan, kita suka bersikap seenaknya. Dalam kondisi ini pun sebenarnya Allah selalu merespon pujian dan permohonan kita, karena Dia Maha Dekat, Maha Pemaaf, Maha Tahu, Maha Cepat dan selalu menepati janji Nya.


Sebenarnya dengan sikap yang tidak patut itu, kita sendiri yang rugi. Kita tidak mampu lagi menangkap jawaban Allah atas doa kita, karena kita terlalu sibuk dan terburu-buru ketika menyampaikan permintaan. Lalu setelah menyampaikannya, kita langsung saja meninggalkan Allah. Kita tidak peduli ketika Allah memberikan jawaban Nya. Kita banyak meminta, tetapi tidak mempersiapkan diri untuk menerima apa yang kita minta.

Bagaimana cara kita berdoa dijelaskan secara singkat di dalam Al Qur’an.

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan
janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al A’raaf [7]:55-56)

Dalam berdoa kita harus merendahkan hati dan santun dalam menyampaikan. Kita perlu menyadari, bahwa hanya Allah-lah yang bisa mengabulkan doa kita.

Jangan berfikir jawaban Allah akan berupa kata-kata seperti halnya kita berbicara dengan sesama manusia. Jawaban Allah bukanlah berupa kata, suara ataupun tulisan. Misalnya, kita mengalami kesulitan keuangan. Jika kita memohon rejeki kepada Allah, tidak serta merta lalu ada sejumlah uang disebelah kita atau ada orang yang datang memberikan sejumlah uang atau muncul gambaran yang menyatakan dimana ada harta karun.

Yang umum terjadi adalah beban di dada dan kekalutan di pikiran yang timbul akibat kesulitan keuangan tersebut diangkat terlebih dulu oleh Allah. Sesaat setelah selesai kita berdoa, kita tetap tidak punya uang, tetapi hati kita terasa lapang. Beban masalah seolah-olah hilang begitu saja. Dengan pikiran yang jernih, ilham akan lebih mudah diterima. Hati yang lapang membuat wajah bersinar, menyenangkan orang yang memandangkan.

Selanjutnya secara bertahap dan pasti, rejeki datang dari arah yang tidak disangka-sangka. “Tangan-tangan” Allah bergerak sedemikian halus sehingga ketika masalah tersebut telah dapat diatasi, kita sering lupa bahwa kita pernah berdoa kepada Allah untuk itu.



LATIHAN 7

Duduklah seperti duduk diantara dua sujud (duduk i’tiraj). Leremkan tubuh dan tundukkan hati dan pikiran. Dengan rendah hati, sampaikanlah permohonan ampun kepada Allah :

Rabbighfirlii (ampuni aku).

Diam sejenak. Buka dada dan diri Anda untuk menerima ampunan Allah
seperti Anda membuka diri ketika merasakan hembusan angin sepoi-sepoi atau menerima curahan air hujan ketika masih kecil.
Jika Anda tidak merasakan sesuatu di dada Anda tidak mengapa, mungkin Anda kurang sensitif, tapi tetaplah membuka diri Anda untuk menerima ampunan Allah. Ulangi permintaan beberapa kali sampai Anda merasa tenang. Berikutnya sampaikanlah permintaan kedua :

Warhamnii (sayangi aku)

Diam dan tundukkanlah diri Anda untuk menerima kasih sayang Allah yang tak terkira besarnya. Bukalah dada Anda seluas-luasnya agar semakin banyak kasih sayang Allah yang Anda terima. Ulangi beberapa kali sampai Anda merasa cukup.

Berturut-turut sampaikanlah permintaan-permintaan berikut dengan cara sebagaimana tersebut di atas, satu per satu:

Wajburnii (tutupi aib-aibku)
Warfa’nii (angkat derajatku)
Warzuqnii (beri aku rizki)
Wahdinii (beri aku petunjuk)
Wa’afinii (sehatkan aku)
Wa’fuani (maafkan aku).

Setelah selesai, diamlah sejenak lalu sampaikan rasa syukur kita.
S T O P Jangan melanjutkan membaca sebelum melakukan latihan di atas

Mudah-mudahan Anda dapat merasakan respon dari Allah atas permohonan yang disampaikan di atas. Jika tidak, bukan berarti Allah tidak menjawab doa kita, tetapi kita yang tidak dapat menangkap respon Nya.


Perjalanan Masih Panjang

Kita telah sampai dipenghujung latihan kita. Apa yang baru kita pelajari hanyalah sebuah gerbang untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Latihan-latihan yang baru kita lakukan hanyalah latihan bagaimana untuk bersikap ketika menghadap Allah. Kita belum membahas masalah kemana kita menghadap diri kepada Allah? Dimanakah Allah? Yang manakah diri kita yang sejati? Dimanakah ruh kita?


Kekhusyu'an dalam shalat akan bertambah jika kita semakin mengenal Allah dan beriman kepada-Nya. Khusyu' juga akan berkembang jika kita telah mengenal diri kita yang sejati.Suasana khusyu' akan berubah sesuai dengan tuntunan yang Allah berikan kepada kita. Ada saat dimana kita menangis ketika shalat.

Di saat lain, kita bisa mendapatkan ketenangan atau kebahagiaan yang luar biasa. Ada saat dimana tubuh merinding atau bergetar. Jika itu terjadi, janganlah Anda takut. Ada pula masanya, dimana kita tidak merasakan apa-apa. Jika itu terjadi, jangan pula Anda bingung.

Perjalanan spiritual masih sangat panjang. Kita tidak boleh puas dan berhenti ketika sampai disatu titik saja, tetapi harus terus maju dan siap berubah. Janganlah mencari apa yang kita pernah rasakan sebelumnya, karena itu akan menghentikan perjalanan kita. Juga akan menyebabkan kita lupa dengan tujuan kita semula, yaitu mendekatkan diri kepada Allah. Kita menjadi sibuk mencari rasa atau sensasi.

Datanglah selalu kepada Allah dengan berserah diri dan tanpa persepsi. Terimalah apa yang Allah berikan kepada kita. Jika diberi rasa khusyu' terimalah. Jika diberi rasa tenang, syukurilah. Jika merasa tidak diberi rasa apa-apa, pertajam pengamatan Anda, karena bisa jadi itu adalah sebuah pengajaran baru dari Allah. Jangan sampai Anda lengah.

Untuk pemahaman yang lebih dalam mengenai masalah ketuhanan, Anda dapat membaca buku-buku tulisan ustadz Abu Sangkan, seperti “Berguru kepada Allah” dan “Spiritual Salah Kaprah” yang baru saja diterbitkan. Tulisan Beliau yang dimuat di www.dzikrullah.com juga sangat baik untuk membuka wawasan kita dalam hidup berketuhanan. Selain itu, buku sahabat saya, Yusdeka Putra, yang berjudul “Membuka Ruang Spiritual” merupakan buku menarik yang patut Anda baca.
Jika ada pertanyaan, Anda dapat menghubungi salah satu nama yang ada di halaman belakang buku ini. Akan lebih baik jika Anda dapat datang mengunjungi salah satu halaqah shalat khusyu' yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan mengikuti halaqah, Anda dapat mendiskusikan permasalahan spiritual dan juga memiliki banyak teman-teman seperjalanan dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah.

Sekarang saatnya Anda dapat mencoba mempraktekkan hasil latihan dengan melakukan shalat sunnat 2 rakaat. Lakukanlah shalat dengan tenang dan santai. Ucapkanlah bacaan shalat sebagaimana Anda sedang berdialog dengan-Nya. Bersikaplah merendah dan santun selama shalat, karena sesungguhnya kita sedang berhadapan dengan Nya.Mudah-mudahan kita semua selalu dalam tuntunan dan perlindungan Nya.

Wabillahi taufiq wal hidayah .Wassalamu’alaikum wr. wb.
mardibros

PUSTAKA

Al Qur'an Digital versi. 2.1. http://www.alquran-digital.com
Hadits Web. Kumpulan Referensi & Belajar Hadits. http://opi.110mb.com/
Artikel-artikel pada www.dzikrullah.com
Artikel-artikel Ustadz Menjawab pada www.eramuslim.com.
Pelatihan Shalat Khusyu’.Shalat sebagai meditasi tertinggidalam Islam. Abu Sangkan. Penerbit
Baitul Ihsan. Cetakan pertama tahun 2004.
Berguru kepada Al ah. Abu Sangkan. Yayasan Bukit Thursina. Cetakan I tahun 2002.
Fikih Shalat. Kajian berbagai Mazhab. Dr. Wahbah al Zuhaily. Terjemahan Prof. Drs. KH. Masdar Helmy. Penerbit Pustaka Media Utama. Cetakan pertama tahun 2004.
Khusyuk Bukan Mimpi. Syaikh Mu'min Al Haddad. Terjemahan Ahmad Syakirin, MA. Penerbit Aqwan, Cetakan III tahun 2008.
Fiqih Niat. Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar. Terjemahan Faisal Saleh, LC. Gema Insani. Cetakan I tahun 2006.
Bulughul Maram. Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani. Terjemahan H. Mahrus Ali. Penerbit Mutiara Ilmu.



Penutup

Jika Anda merasakan tulisan ini bermanfaat, mohon keikhlasannya untuk ikut serta dalam menyebarkan shalat khusyu’. Anda dapat melakukannya dari hal yang mudah hingga yang lebih sulit, seperti:

 Mengirimkan e-book ini ke orang-orang yang Anda kenal
 Mencetak dan membagikan e-book ini kepada orang disekitar Anda
 Menceritakan pengalaman shalat khusyu' Anda ke orang-orang terdekat
 Menyalurkan infaq/sadaqah/zakat kepada Shalat Center
 Membuka halaqah shalat khusyu' di rumah

Mudah-mudah dengan peran serta Anda, shalat khusyu' dapat cepat tersebar dengan gratis atau murah sehingga semakin banyak umat Islam yang terhindar dari perbuatan keji dan mungkar.

Sekretariat Shalat Center
Jl. Kemangsari IV/5, Jatibening, Bekasi
Telp. (021) 84978836 Email : sekretariat@shalatcenter.com

Web : http://www.shalatcenter.com
http://www.dzikrullah.com

Milis : http://groups.yahoo.com/group/dzikrullah

Foto kegiatan : http://patrapnet.fotopic.net
http://dzikrullah.multiply.com

Rekening bank :
Yayasan Patrap Indonesia
BCA Cabang Jakarta - Wolter Mongisidi
Rek.No. 5240306338









KAJIAN TENTANG PETUAH YANG BERMAKNA




PADEPOKAN AHMAD MALIK: Di sebuah ruang chatting internet, ada seorang teman menyampaikan
kajiannya tentang pujian. Kajiannya ini diawali dengan kisah Imam Ali r.a. ketika
mendapat teguran dari orang yang ia mintai pendapatnya mengenai ceramahnya itu.
Seperti yang kita ketahui, Imam Ali r. a. sangatlah piawai dalam berpidato, sehingga
setiap kali beliau berpidato selalu memberikan efek yang membuat para pendengarnya
menangis. Mendapat pertanyaan itu, orang yang ditanya langsung menegurnya dan
mengingatkannya bahwa jika saja ia (Imam Ali) tidak bertanya seperti itu maka
amalannya itu tidak akan rusak. Begitulah kira-kira ceritanya.
Menurut makalah yang saya terima ketika saya menghadiri sebuah seminar Public
Relation tahun lalu, senang memuji adalah salah satu dari nilai-nilai plus yang
membentuk self-PR yang kuat. Bisa kita bayangkan bila orang sudah mau memuji orang
lain berarti dia secara tidak langsung mengakui kelemahan diri dan mengakui kelebihan
orang lain. Suatu tindakan yang menunjukkan kerendahhatian bukan? Dalam hal ini kita
pasti sudah bisa membedakan mana pujian yang perlu dan tulus serta pujian yang
menjilat.
Dulu saya pernah membaca sebuah kisah orang alim yang selalu dipuji orang karena dirinya akan terjebak ke dalam perbuatan riya. Maka suatu hari dia melakukan perbuatan
buruk seperti mencuri dan sebagainya yang membuat aneh dan kecewa orang-orang yang
dulu suka memujinya. Setelah semua orang mencaci dirinya, barulah dia merasa aman
karena setelah itu dia merasa tenang menjalankan ibadah tanpa gangguan ketakutan
berbuat riya karena pujian.
Apa sebenarnya yang harus kita lakukan ketika kita dipuji agar kita tidak terjebak ke
dalam kesombongan ataupun melecehkan orang yang memuji kita? Apalagi hanya karena
ingin tenang beribadah sehingga kita rela membuat orang lain menjadi berburuk sangka
(kotor hati) terhadap kita, bukankah itu merupakan suatu keegoisan?
Memang dalam menanggapi pujian, ucapan yang paling baik dan tepat adalah dengan
mengucapkan 'Alhamdulillaah' (segala puji bagi Allah) karena memang Dialah yang
pantas untuk dipuji. Kita pintar, kita cantik, kita ganteng, kita sukses dan sebagainya,
tidak lain karena kepintaran,kecantikan, kegantengan dan kesuksesan itu adalah karena
anugerah dari-Nya, semuanya itu adalah ciptaan-Nya.
Selain dari itu, ucapan Alhamdulillah menunjukkan rasa syukur kita kepada-Nya atas
semua anugerah yang telah diberikan, juga merupakan wujud rasa terima kasih kita
kepada orang yang memuji kita. Kita harus menghargai orang yang telah mau
merendahkan hatinya memuji kita. Bisa jadi orang memuji kita malah lebih layak untuk
dipuji. Seperti dalam firman Allah dalam surat An-Najm: 32, "Janganlah kamu merasa
sudah bersih, Dia Allah lebih mengetahui siapa yang bertaqwa." Juga dalam hadist
riwayat Muslim, "Bertawadhulah (merendah dirilah) sehingga seseorang tidak
menyombongkan diri terhadap lainnya dan seseorang tidak menganiaya terhadap
lainnya."
Dalam beberapa hal pujian sangatlah bermanfaat, seperti pujian seorang ahli kepada
orang yang sedang belajar, pujian seorang guru kepada muridnya, pujian orang tua
kepada anak-anaknya atas perbuatan baik dan prestasi yang dicapai, juga pujian seorang
teman kepada temannya yang selalu tidak percaya diri dan menganggap dirinya seorang
"never do well" person. Semua pujian itu niscaya akan membangkitkan semangat mereka
dan memandang dirinya sangatlah berharga, sehingga kepercayaan diri akan tumbuh
untuk berbuat yang lebih baik.
Kalau pujian dianggap sebagai penyebab kesombongan, kita pun harus ingat bahwa
penyebab kesombongan tidaklah hanya pujian. Banyak hal lain yang bisa membuat kita
terjebak ke dalam perbuatan sombong, seperti hak jawab ketika mendapat kritikan
terutama dari orang yang tidak kita sukai atau bersebrangan pandangannnya dengan kita
lantas kita memamerkan segala kehebatan kita, merendahkan orang lain hanya karena
mereka belum memakai busana muslimah, dan sebagainya. Dalam surat Al-A'raf: 47
Allah berfirman, "Apakah mereka yang kamu katakan tidak bakal mendapat rahmat,
tiba-tiba kini diperintahkan : Masuklah kamu ke sorga, dengan tiada rasa takut atau
sedih."
kealimannya. Dia sungguh merasa tersiksa, karena dia khawatir dengan segala pujian itu Semoga kita semua bisa melatih diri kita menjadi orang yang selalu rendah hati, sehingga
setiap pujian yang kita terima lebih membuat kita bertambah kagum kepada-Nya.
Aamiin.
***

Sebuah Kepergian


PADEPOKAN AHMAD MALIK: Kali itu Abu Bakar mengasingkan diri ke dalam rumah. Ia mengunci pintu
akibat murung dan sedih yang sangat. Sesuatu yang nyeri terasa menusuk ulu hati. Pada
saat yang nyaris sama, di jalan-jalan semua orang justru hiruk pikuk akibat gembira.
"Agama kita telah sempurna!" seru mereka, sumringah luar biasa.
Hari itu Padang Arafah dilanda muram. Di atas untanya seorang lelaki di usia ke-63
terhenyak dikunjungi malaikat utusan. "Pada hari ini Aku (Allah) telah sempurnakan
bagimu agamamu, Aku cukupkan nikmat-Ku untukmu, dan Aku rela Islam menjadi
agamamu." Seayat wahyu terakhir telah disampaikan, dan Allah telah mengakhiri misi
suci Jibril, sang penyampai firman.
Islam telah mencapai puncak kesempurnaan. Kabar gembira lekas tersebar. Tapi tidak
bagi seorang Abu Bakar. Tergesa-gesa sekumpulan sahabat mendatangi Abu Bakar,
mencari sebab terciderainya hati. Ia menjawab, "Kamu semua tidak tahu bencana yang
kelak menimpa kita. Apakah kamu tidak paham, bahwa bila telah sampai titik
kesempurnaan, maka telah bermula sebuah kemunduran dan kemerosotan. Telah
terbayang perpecahan yang akan menimpa kita, dan nasib Hasan dan Husein yang
menjadi yatim, serta para isteri Nabi yang menjadi janda."
Semua yang hadir tersentak oleh kesadaran yang datang tiba-tiba. Mereka kini paham,
ayat itu menjadi isyarat sebuah kepergian. Dan sepenjuru Madinah lekas-lekas berubah,
dari gembira menjadi gelanggang air mata. Cinta mereka yang tak berbatas kian menemui
kedalamannya menjelang perpisahan.
***
Menginjak milenium ketiga yang miskin solidaritas, krisis kepemimpinan, dan
demoralisasi yang kronis, membuat sosok seorang Muhammad SAW, lelaki agung itu
lebih serupa dengan mitos. Padahal, ia sosok yang nyata, dari kalangan manusia biasa.
Sukar untuk membayangkan, seorang pIa menjadi yang pertama di antara orang-orang yang lapar, dan terakhir untuk mencapai
kenyang. Bajunya ia tambal sendiri, tungkunya kerap tak berasap, dan biasa menyapu
sendiri lantai rumahnya. Tak alpa, bersama 'Aisyah, sang isteri, ia sering dijumpai berlari
pagi. Kewibawaan besarnya tak membatasi diri dari kesediaan melimpahi kemesraan
mengagumkan.
Sekali waktu iringan jenazah datang dari kejauhan. Muhammad SAW, berdiri dengan
sikap penuh hormat. Ketika prosesi mendekat, seorang sahabat berujar memberi ingat,
"Tapi, itu jenazah orang Yahudi!" Namun, sang Nabi tetap tegak. Lembut ia berucap,
"Jika ada iringan jenazah lewat, berdirilah."
Kini, semua orang memang harus belajar dari sebuah keteladanan tentang penghormatan
terhadap semua sisi kemanusiaan--sejauh apapun perbedaan ras, golongan, dan bahkan,
agama. Kemanusiaan yang sama tanpa batas.
Ia mendampingi peristiwa kematian, bencana, kesedihan, dan juga, mungkin,
kegembiraan.
Kesadaran adalah matahari, demikian Rendra di suatu kali. Kesadaran seorang
Muhammad, SAW, mewarisi benih yang indah tentang budi yang luhur--dalam
pengertian reason dan moralitas. Sebuah Das Sein (realita) yang tak berbeda dari Das
Sollen (idealita). Ia adalah kapital besar yang memiliki kesanggupan mengatasi benci dan
amarah.
Dalam prasangka-prasangka yang keruh, sisi kemanusiaan yang diajarkan sang Nabi
menjadi sumber terang profetik yang melegakan.
***
Ibnu Abbas mengisahkan. Menjelang wafatnya, Rasulullah memberi kesempatan pada
semua yang pernah teraniaya olehnya untuk membalas. Seorang lelaki berdiri. 'Ukasyah
ibn Mukhsin namanya. Ia bercerita bahwa dalam perang Badar Rasulullah pernah
mencabuknya tak sengaja. Rasul pun memerintah Bilal mengambil cemeti di rumah
Fatimah. Tapi itu tak cukup. 'Ukasyah menambahkan, saat itu pada badannya tak terlapisi
kain sehelai benang pun. Maka sang Nabi pun menggelontorkan pakaian. Sebagian
sahabat menjadi geram, dan sebagian lainnya menangis tak sanggup menatap orang yang
dicintainya akan menerima cambuk. Tapi, sekelebat kemudian 'Ukasyah menubruk dan
memeluk Rasulullah dalam tangis terisak, "Siapa pula yang tega hati meng-qishas
engkau? Aku berbuat demikian hanya agar tubuhku dapat bersentuhan dengan tubuhmu."
Cinta agape dipentaskan jaman. Demikianlah kisah sang Nabi yang mencintai ummatnya
begitu dalam. Menjelang mautnya, ia tak berpikir tentang diri sendiri dan kebahagiaan
menjumpai Sang Penguasa Akhir Zaman. Dari bibir lelaki itu Anas bin Malik hanya
mendengar sebuah gelisah, "Ummatku, ummatku, ummatku..."
*** enguasa yang duduk di singgasana tikar belukar.
Anggi Aulina Harahap
Danka_center11@yahoo.com
Menjadi Pilar
Publikasi: 15/03/2005 08:22 WIB

eramuslim - Bukan tak mungkin ada seseorang yang tak bisa menjadi pilar.
Keberadaannya yang diharapkan dapat menjadi penyangga yang tangguh bagi atap di
atasnya, dan juga mengokohkan tiap jengkal bahan baku yang menyelimutinya, adalah
sia-sia bila si pilar tak bersedia untuk berdiri.
Pilar itu adalah kekuatan. Bayangkan saja, ia harus berdiri tegak sepanjang bangunan itu
ada. Bayangkan saja, bila sebuah pilar harus permisi dan mengundurkan diri barang
sedetik, maka tak ayal bangunan itu harus rela kehilangan satu penopangnya dan perlahan
menjadi rapuh. Mudah runtuh. Sebab, pilar adalah penahan segala dan penguat tegaknya.
Pilar adalah kegagahan. Walaupun keberadaannya tertutup oleh lapisan batu, semen, cat,
dan sekian banyak lagi yang menyembunyikan perannya. Ia pun menyendiri, walau tak
mungkin pula hanya sebuah yang berdiri, namun tetap sepi. Sebab tegaknya yang gagah
itu tak berada berhimpitan. Hingga tak heran, bila ia kesepian. Tugasnya seolah ia
laksanakan seorang diri, padahal tak sedikit pilar-pilar lain yang merasakan hal yang
sama.
Tak semua orang bisa menjadi seorang pemimpin? Memang benar. Tapi ternyata tak juga
semua bisa menjadi seorang anggota. Menjadi pemimpin yang memberikan instruksi dan
perintah memang tak mudah, sebab ia pun harus mengatur dan mengendalikan sekian
banyak orang di bawahnya. Tetapi, ternyata tak kalah sulitnya menjadi seorang yang
tugasnya menjalankan perencanaan yang telah dibuat dan menguatkan barisan agar makin
melangkah maju ke depan. Tak kalah sulitnya, bahkan untuk mengatasi sebuah kejenuhan
akan tugas-tugas yang terasa membosankan, butuh sebuah kekuatan.
Menjadi pilar, adalah menjadi penentu kuat rapuhnya sebuah bangunan. Bila ia enggan
berdiri, maka tak mungkin lah bangunan tersebut dapat berdiri gagah dan indah. Bila ia
bosan dan memutuskan untuk lari, maka bangunan itu akan kehilangan keseimbangan,
goyah, dan bisa-bisa hancur rubuh terpecah-pecah. Jadi, bukankah menjadi sebuah pilar
adalah menjadi sebuah kekuatan besar? Pilar yang tak gentar melawan hingar bingar
cobaan yang menghajar, akan dengan setia menyandang sampai bangunan itu tak Anggun


Menjadi Pilar


PADEPOKAN AHMAD MALIK: - Bukan tak mungkin ada seseorang yang tak bisa menjadi pilar.
Keberadaannya yang diharapkan dapat menjadi penyangga yang tangguh bagi atap di
atasnya, dan juga mengokohkan tiap jengkal bahan baku yang menyelimutinya, adalah
sia-sia bila si pilar tak bersedia untuk berdiri.
Pilar itu adalah kekuatan. Bayangkan saja, ia harus berdiri tegak sepanjang bangunan itu
ada. Bayangkan saja, bila sebuah pilar harus permisi dan mengundurkan diri barang
sedetik, maka tak ayal bangunan itu harus rela kehilangan satu penopangnya dan perlahan
menjadi rapuh. Mudah runtuh. Sebab, pilar adalah penahan segala dan penguat tegaknya.
Pilar adalah kegagahan. Walaupun keberadaannya tertutup oleh lapisan batu, semen, cat,
dan sekian banyak lagi yang menyembunyikan perannya. Ia pun menyendiri, walau tak
mungkin pula hanya sebuah yang berdiri, namun tetap sepi. Sebab tegaknya yang gagah
itu tak berada berhimpitan. Hingga tak heran, bila ia kesepian. Tugasnya seolah ia
laksanakan seorang diri, padahal tak sedikit pilar-pilar lain yang merasakan hal yang
sama.
Tak semua orang bisa menjadi seorang pemimpin? Memang benar. Tapi ternyata tak juga
semua bisa menjadi seorang anggota. Menjadi pemimpin yang memberikan instruksi dan
perintah memang tak mudah, sebab ia pun harus mengatur dan mengendalikan sekian
banyak orang di bawahnya. Tetapi, ternyata tak kalah sulitnya menjadi seorang yang
tugasnya menjalankan perencanaan yang telah dibuat dan menguatkan barisan agar makin
melangkah maju ke depan. Tak kalah sulitnya, bahkan untuk mengatasi sebuah kejenuhan
akan tugas-tugas yang terasa membosankan, butuh sebuah kekuatan.
Menjadi pilar, adalah menjadi penentu kuat rapuhnya sebuah bangunan. Bila ia enggan
berdiri, maka tak mungkin lah bangunan tersebut dapat berdiri gagah dan indah. Bila ia
bosan dan memutuskan untuk lari, maka bangunan itu akan kehilangan keseimbangan,
goyah, dan bisa-bisa hancur rubuh terpecah-pecah. Jadi, bukankah menjadi sebuah pilar
adalah menjadi sebuah kekuatan besar? Pilar yang tak gentar melawan hingar bingar
cobaan yang menghajar, akan dengan setia menyandang sampai bangunan itu takdiperlukan lagi ada. Namun pilar yang selalu kalut dan takut menghadapi angin ribut,
akan dengan mudah minggir atau terpinggirkan.
Setiap diri kita adalah seumpama sebuah pilar. Di manapun kita berada, pasti akan
berhadapan dengan seseorang lain yang menjadi pemimpin dan bertugas mengarahkan
gerak yang kita lakukan, juga bersinggungan dengan sekian aturan dan perencanaan-
perencanaan untuk setiap aktivitas keseharian. Di rumah, di jalan, di sekolah, di kampus,
di tempat kerja....
Menjadi pilar adalah bertahan. Ketika pondasi yang terletak menginginkan kekokohan
penyangga, ketika rangka dan bahan baku lainnya membutuhkannya sebagai penunjang
terwujudnya keindahan, ketika atap yang menaungi tak mungkin terbentang tanpa
ditopang olehnya. Dan harus tetap tegak walau tak disokong oleh kualitas kulit luar dan
bahan baku yang baik, walau kian banyak keropos yang menggerogoti tubuh bangunan.
Mengalami kejenuhan akan aktivitas keseharian yang lama-lama terasa monoton, adalah
suatu hal yang biasa. Sukses mengatasinya dan tidak menyerah begitu saja terhadap
kejenuhan, barulah luar biasa. Seringkali, seseorang yang tak memiliki daya tahan yang
kuat terhadap rasa jenuh, memilih untuk pergi meninggalkan segala tugas-tugasnya atau
rutinitas yang dirasa membosankan itu, untuk mendapatkan sesuatu hal yang baru. Bukan
semata-mata untuk mencari sebuah tantangan, melainkan menyerah sebab tak
menemukan cara untuk bertahan. Bila saja mau meluangkan waktu untuk mengasah diri
ini menjadi lebih kreatif, maka tiap jenak kebosanan itu akan digantikan oleh berbagai
ragam aktivitas lainnya, sebagai penawar. Menjadikan kegiatan-kegiatan sampingan
selain aktivitas rutin, seperti mengikuti sebuah organisasi sosial dan melakukan aktivitas
yang digemari, sebagai 'obat' bagi rasa jenuh yang selalu berusaha 'mematahkan'
semangat diri kita untuk menyelesaikan tugas dengan baik.
Bertahan sebagai seorang anggota dengan berbagai keterbatasannya memang tidak
mudah. Diri kita akan dibatasi oleh berbagai aturan, sejumlah hak dan kewajiban yang
harus dipenuhi, dan berbagai hal lain yang seakan mengekang kebebasan untuk
berekspresi sekehendak hati. Tetapi, bukankah di setiap jalan kehidupan membutuhkan
aturan untuk memastikannya berjalan lancar minim hambatan? Dan bukankah aturan-
aturan tersebut akan membantu anggota yang satu dengan yang lainnya agar mudah
berkomunikasi dan bekerja sama? Menjadi sebuah pilar, tidaklah ringan sebab ia
memegang peranan penting. Dan sesungguhnya setiap diri kita adalah seorang pilar bagi
setiap komunitas kecil maupun besar yang kita masuki.
Maka, seberapa kuatkah 'model' pilar yang kita mainkan bagi sebuah bangunan yang
sedang kita topang?
***
Untuk teman-teman tersayang dan diri sendiri




Titik Terakhir


PADEPOKAN AHMAD MALIK: - Adakah permasalahan yang membuat Anda gelisah, dan Anda tidak dapat
tidur semalaman? Sedih, takut, kemarahan yang meluap-luap, itu semua sering memaksa
kita susah tidur. Saya yakin setiap manusia dewasa pernah merasakan tidak bisa tidur
semalam karena masalah-masalah itu. Tak terkecuali saya. Sayang, sering kali
permasalahan yang membuat bola mata kita terus terjaga itu adalah permasalahan dunia :
harta, wanita, saingan kerja, dan masih banyak lagi.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 3.00 pagi hari. Tapi matanya teramat jauh dari
kantuk. Andai saat itu ada orang yang menjual rasa kantuk, tentu sangat mahal harganya.
Sebenarnya ia biasa tidak tidur malam, karena malam-malam sebelumnya pun ia sibuk
begadang. Tak jelas apa yang dikerjakannya? Namun malam ini lain, malam ini ia merasa
bau kematian amat dekat dengan dirinya. Ya, saat itu ia sangat takut akan kematian. Ia
sadar, penyebabnya ia baru saja berbuat dosa. Dosa yang ia tahu larangannya. Ia tidak
menceritakan kepada saya dosa apa yang diperbuatnya. Baru pertama sepanjang
hidupnya ia merasakan takut mati. Sehingga kasur empuk di kamarnya kosong ditinggal
tuannya. Ia sibuk berzikir dan memohon ampun atas segala dosa-dosanya. Setelah
sebelumnya ia shalat sunah dua rakaat. Ia berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.
Airmata dan sajadah merahnya menjadi saksi pertaubatan itu.
Azan subuh pun menggema, segera ia melaksanakan shalat berjamaah di mesjid samping
kos-nya. Usai shalat subuh ia berzikir lagi di atas sajadah dengan warna yang sama. Tapi
kali ini, ia menyerah. Kelopak matanya menutup, tak lama suara dengkuran halus muncul
dari tengorokannya yang sedikit tersumbat. Ia tidak ingat lagi apakah benar-benar ia telah
di jemput oleh kematian.
Jam 8.00 pagi, alarm Casio di pergelangannya berbunyi. Ia tersentak dari duduknya, ia
segera bersujud, bersyukur masih diberi kesempatan untuk merasakan hidup. Bersama
matahari yang menerangi jendela kamarnya.
"Betapa bodohnya aku saat itu!"
"Memangnya kenapa?" saya balik bertanya.
"Jika Allah mau, bisa saja Ia mengambil nyawaku saat berbuat dosa itu."
***
Rasulullah SAW menganjurkan kepada umatnya untuk sering-sering mengingat pemutus
kenikmatan. Yaitu mati. Sahabat dan Tabi'in mereka adalah orang-orang besar yang
gemar melakukannya. Bahkan mereka pun mengadakan majlis-majlis zikir yang oleh
Muhammad Ahmad Rasyid disebut 'madrasahThalib menaruh perhatian besar dalam masalah ini, pada suatu hari di masa
kepemimpinannya, ia mengumpulkan rakyatnya di mesjid ibukota Kufah. Kemudian ia
berkata:
"Sungguh yang aku takutkan terjadi pada kalian hanya dua, panjang angan-angan dan
mengikuti hawa nafsu. Panjang angan-angan membuat lupa akhirat, sedang mengikuti
hawa nafsu membuat orang menolak kebenaran."
Atau dengarkanlah kata-kata indah seorang zahid Tabi'in 'Uwais Al Qarni, "Hendaklah
kalian berbantal kematian ketika tidur, dan jadikanlah kematian penyangga tubuh ketika
kalian berdiri.
Hal paling nyata bagi orang-orang yang selalu mengingat kematian kata seorang ulama
pergerakan DR. Abdullah Nashih 'Ulwan adalah ia akan merasakan manisnya iman.
Karena dengan itu, ia akan berusaha terus menerus mengumpulkan bekal agar sampai ke
negeri akhirat dengan selamat. Negeri yang di janjikan oleh pencipta jagat raya ini. Islam
tidak melarang kita untuk kaya dalam hal dunia, bahkan itu dianjurkan. Karena kaidah
agama ini adalah bekerja untuk dunia seakan kita hidup selamanya, dan beribadah untuk
akhirat seperti kita akan menemui kematian esok hari.
Kehidupan orang-orang terdahulu dari umat ini memberi kita warna lain, tidak ada
habisnya untuk terus-menerus kita teladani. Abu Hurairah r.a seorang sahabat terkemuka
perawi hadist Nabi, ketika menjelang wafatnya ia menangis tersedu-sedu. Seseorang
bertanya kepadanya:
"Apa yang menjadikan Anda menangis?"
"Aku tidak menangis karena dunia yang kalian tempati ini, tetapi karena jauhnya
perjalanan yang aku tempuh dan sangat sedikit bekal yang aku bawa. Sungguh aku akan
berjalan di suatu tempat yang tinggi, turunnya di surga atau neraka. Sedangkan aku
tidak tahu surga atau neraka tempat kembaliku?"

***
"Anda di mana?"
"Saya sedang di pemakaman Duwaiqah." Jawabnya singkat. Saya langsung berpikir,
bahwa kawan yang bercerita di atas tadi sedang mencari hal-hal baru yang
mengingatkannya akan kematian. Maka ia pergi ke pekuburan. Pekuburan yang setiap
hari kami lewati dalam perjalanan ke kampus Al Azhar.
Ada banyak cara untuk selalu mengingat kematian. Salah satunya pergi ke pemakaman,
bayangkanlah saat kita di tandu dan pelan-pelan diturunkan ke liang lahat. Lain dari itu,
kisah seorang tabi'in Rabi' Bin Khaitsam sungguh unik, ia menggali lubang kubur dan
masuk ke dalamnya setiap hari, lalu mengingat-ingat penuh perasaan apa yang
dilakukannya itu.
Tapi, kita mungkin belum mampu untuk menirunya. Cukuplah saat-saat kita benar-benar
sibuk, dan segala urusan telah melupakan kematian. Berhentilah sejenak, tarik nafas, dan kematian'. Khalifah ke empat Ali Bin Abi ingat bahwa semua yang Anda lakukan saat ini pasti ada akhirnya. Nafas yang tadi Anda
tarik suatu saat akan berhenti tepat pada waktunya, saat itulah kita di jemput kematian.
Putaran waktu dan roda-roda perjalanan adalah lembaran hidup yang sedang kita tulis.
Kita akan menemukan banyak 'tanda baca' di sana. Yakinkan dalam hati, kita akan
menemui titik terakhir. Dimana kita tidak bisa lagi menulis lembaran itu. Titik terakhir
itu adalah kematian. Dan semua makhluk bernyawa tidak ada satu pun yang tahu kapan
akan menemui titik itu.
***

Negeri Para Nabi,

Satu Pelajaran dari Pohon Kelapa

Sebuah pepatah dari Ranah Minangkabau berbunyi, "Alam takambang jadi guru". Ini
bisa diterjemahkan bahwa alam semesta bisa berperan sebagai guru bagi kita, manusia.
Dia mengajarkan kita akan banyak hal tentang bagaimana menjalani kehidupan sebagai
hamba Allah. Alam semesta -salah satu wujud ayat kauniyah dari Ilahi- tidak tersurat
seperti halnya ayat-ayat qouliyah yang kita baca dalam Al Quran. Pelajaran yang
diberikannya tidak tertulis dalam bentuk jilid buku dan tidak pula disampaikan pada
suatu komunitas belajar, tapi berupa hikmah tersirat yang diperlihatkan melalui
fenomena-fenomena alam.

PADEPOKAN AHMAD MALIK: - Ada satu jenis tanaman yang menjadi khas di daerah pesisir. Rasanya
keelokan alam pesisir belum lengkap tanpa kehadirannya. Dia adalah pohon kelapa, Si
Nyiur melambai di tepi pantai. Selain memberi keindahan, sebenarnya kelapa punya
keunggulan tersendiri. Untuk mengetahui itu, mari kita kenali lebih dekat.
Ahli taksonomi mengklasifikasikan kelapa ke dalam kelas monokotil (tumbuhan biji
berkeping satu) dan suku Palmae. Dengan demikian, ciri utama batang kelapa adalah
tidak bercabang. Batangnya cukup kokoh dan luas penampangnya juga relatif besar. Fakta inilah yang membuat batang kelapa menjadi pilihan utama sebagai tiang rumah
atau bahan konstruksi jembatan tradisional yang masih sering kita temui di pedesaan.
Sekarang kita perhatikan bagian lainnya, yaitu daun. Ketika menghadiri resepsi
pernikahan, kita sering melihat hiasan yang biasa disebut janur kuning pada gerbang
gedung atau rumah tempat penyelenggaraan acara. Itu dibuat dari daun kelapa. Untuk
menyambut hari raya atau acara besar lainnya, tidak jarang kita menemukan ketupat
sebagai salah satu hidangan. Kemasan ketupat itu pun dianyam dari daun kelapa. Selain
itu, para perangkai bunga juga sering menggunakan daun kelapa untuk melengkapi
kesempurnaan kreasinya.
Tunggu dulu, masih ada bagian dari daun yang sering kita gunakan, lidi. Dalam
keseharian, lidi bisa dijumpai sebagai tusuk sate, sapu lidi, ataupun sebagai salah satu
bahan untuk membuat prakarya.
Beralih ke buah. Siapa yang tidak pernah merasakan segarnya es kelapa muda? Bahan
bakunya adalah air dan daging buah dari kelapa yang masih muda. Dengan
menambahkan es, susu, sirup, biji selasih, ataupun bahan makanan lain, kita bisa
menghidangkan minuman yang nikmat ini. Di samping itu, air kelapa juga bisa diproses
menjadi nata de coco atau ditambahkan ke dalam adonan cabe yang sedang digoreng
untuk mendapatkan sepiring dendeng balado yang lezat.
Daging buah dari kelapa yang sudah tua bisa diparut kemudian diperas untuk
mendapatkan santannya. Santan ini bisa digunakan sebagai salah satu bahan baku
makanan dan bisa juga diolah menjadi minyak kelapa. Ampas dari perasan parutan
kelapa tadi dapat digunakan untuk membersihkan lantai semen supaya lebih mengkilap.
Masih bagian dari buah, yaitu tempurung kelapa. Bagian ini bisa digunakan untuk
membuat vas bunga, jepitan rambut, dan aneka kerajinan tangan. Bisa juga diolah
menjadi arang yang dipakai untuk membakar sate atau sebagai sumber panas pada setrika
tradisional. Tempurung kelapa ini bahkan juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan
katalis sebuah reaksi hidrogenasi pada industri petrokimia.
Masih ada lagi, sabut kelapa! Lihatlah, dengan memintalnya kita bisa memperoleh seutas
tali tambang yang kuat. Untuk menyalakan perapian, kita juga bisa menggunakan sabut
kelapa ini bersama pelepah daun kelapa dan kulit terluar buah kelapa.
Subhanallah! Betapa mengagumkan si kelapa ini. Setiap bagian kecil tubuhnya pun bisa
digunakan untuk berbagai keperluan. Uraian di atas hanyalah sedikit bukti manfaat
kelapa bagi manusia, belum termasuk kegunaannya bagi hewan dan tumbuhan lain.
Perjalanan waktu selanjutnya akan melahirkan bukti-bukti lain betapa bermanfaatnya
makhluk Allah yang bernama kelapa ini. Dan sadarilah, ini pelajaran penting yang
diberikan kelapa kepada kita, yaitu menjadi makhluk yang bermanfaat banyak bagi
makhluk lain. Teman,
Allah SWT menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (ahsani taqwim).
Masing-masing kita dikaruniai keunikan yang dijadikan modal untuk bergelut di lahan
yang diminati. Yang patut digarisbawahi, bagaimanakah kita menggunakan semua
titipan-Nya itu selama ini?
Memang, kita mungkin tidak pernah menyia-nyiakan semua pemberian-Nya itu. Kita
bahkan selalu bekerja keras untuk menggunakan semua potensi yang kita miliki itu
seoptimal mungkin. Namun, seringkali kita memanfaatkannya untuk menghasilkan
karya-karya yang hanya berorientasi pada diri sendiri. Tak jarang kita hanya berkutat
dengan kepentingan diri sendiri dan merasa tidak perlu untuk menghasilkan sesuatu yang
bermanfaat bagi kemaslahatan orang banyak, apalagi untuk alam semesta dalam skala
yang lebih besar.
Bukankah Allah SWT berfirman, "Dan tidaklah kamu diutus melainkan sebagai rahmat
bagi semesta alam" (QS. Al Anbiyaa [21] : 107)
Menjadi rahmat bagi semesta alam adalah peran yang diamanahkan oleh Allah kepada
seluruh manusia. Dan Allah takkan memberi amanah tersebut jika kita tak mampu
melaksanakannya. Masing-masing kita sebenarnya sudah dibekali-Nya modal dan potensi
untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi makhluk lain. Entah itu berupa harta,
tenaga, ilmu, pikiran atau yang lainnya. Dengan izin-Nya, semua itu bisa kita kelola
supaya memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi makhluk yang lain.
Renungkanlah perkataan Sayyid Quthb ketika ia menghadapi kematiannya di tiang
gantungan, "Kebahagiaan yang sesungguhnya aku rasakan adalah ketika aku merasa
yakin bahwa aku telah meninggalkan sesuatu yang berharga bagi penerusku".
Perkataannya bukan tiada bukti. Lihatlah, begitu banyak orang yang memperoleh manfaat
banyak dari karya-karyanya, terutama Tafsir Fi Zhilalil Quran yang kerapkali dijadikan
rujukan untuk mendalami Islam.
Ingatlah Asy-Syahid Yahya Ayyash, sang insinyur elektro kelahiran Rafat, Palestina.
Dengan kecerdasannya, lulusan Universitas Beir Zeit ini mampu merakit bom yang susah
dicari tandingannya. Bisa dikatakan bahwa ia adalah otak di balik aksi bom syahid
HAMAS. Semangat jihadnya yang menggebu-gebu memberi dukungan psikologis yang
besar untuk rekan-rekan seperjuangannya. Pada waktu syahidnya 5 Januari 1996 silam,
Palestina menangis. Diperkirakan seperempat juta rakyat Palestina turun ke jalanan
menyusun iring-iringan sepanjang 40 km untuk mengantar jenazahnya. Mereka tentu
tidak akan merasa kehilangan sampai seperti itu jika sepak terjang sang insinyur tidak
memberi arti yang sangat penting bagi perjuangan mereka.
Dan teladanilah Rasulullah SAW. Penduduk Makkah tidak akan melupakan solusi
jeniusnya ketika meletakkan Hajar Aswad kembali pada tempatnya setelah perbaikan
Ka'bah. Pertumpahan darah antar kabilah Quraisy terhindarkan. Bukan hanya itu! Gelar
Al Amin juga membuat tetangga sekitarnya mempercayakan harta mereka kepada beliau
untuk dijaga. Kepiawaiannya dalam memimpin tidak hanya dirasakan oleh ummat Islam,
tapi juga oleh orang beragama lain yang merasa nyaman dengan kebijaksanaannya. Menjelang akhir hayatnya, beliau masih sempat berpesan pada istrinya, Aisyah ra. untuk
menginfakkan uangnya yang berjumlah 7 dinar kepada fakir miskin di kalangan
Muslimin. Dan sampai saat ini, segala perilakunya dijadikan contoh teladan bagi kita
semua.
Saudaraku,
Hidup sebagai manusia adalah sebuah takdir. Tapi menjalani hidup yang bermanfaat bagi
orang lain adalah sebuah pilihan. Bukanlah sembarang pilihan, tapi pilihan yang sangat
disukai Allah. Kita-lah yang memilih apakah kita hanya akan berjibaku dengan diri
sendiri atau memiliki orientasi yang diridhai-Nya, yaitu menjadi rahmat bagi semesta
alam. Kita juga yang menentukan jalan penggunaan tenaga, harta benda, ilmu, pikiran,
dan nikmat-nikmat lainnya sebagai sesuatu hal yang bermanfaat banyak, tidak hanya
untuk diri kita, tapi juga bagi orang lain dan lingkungan sekitar. Dan tidakkah kita
berkeinginan untuk masuk ke dalam golongan terbaik dari ummat Nabi Muhammad
SAW?
"Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang
lain." (HR. Bukhari dan Muslim)
Kalau kelapa saja bisa memberi manfaat banyak bagi sekitarnya, apalagi kita, makhluk
yang diciptakan-Nya dengan sebaik-baik bentuk?
Allahu a'lam bish-showab,
***



Anugerah Hikmah di Balik Musibah


PADEPOKAN AHMAD MALIK: - Parno, begitu kami biasa memanggilnya, tetangga saya waktu kecil dulu.
Dia lahir di tengah-tengah keluarga yang sangat sederhana. Anak ke empat dari enam
bersaudara. Seperti kebanyakan anak-anak lain, hidupnya biasa-biasa saja. Sekolah dan
bermain dilalui dengan suka cita bersama teman-teman sebayanya. Selepas pulang
sekolah, bersama teman-temannya pula dia membantu orang tua mencari rumput di
lapangan desa untuk seekor lembu yang dipelihara keluarganya. Setelah itu dia bermain
bola atau layang-layang kesukaannya sampai sore. Seingat saya dia anak yang tidak pernah absen pergi ke masjid sebelum adzan Magrib
berkumandang dengan atributnya yang khas, sarung batik sedikit kedodoran dan peci
yang agak kebesaran. Pulang selepas Isya. Waktu antara Magrib dan Isya dilaluinya
untuk belajar membaca Al quran atau hanya dihabiskan dengan bermain petak umpet di
halaman masjid yang luas.
Malang tak dapat di tolak untung tak dapat diraih. Jika Allah sudah berkehendak tak ada
satupun manusia yang bisa berdalih. Hidupnya jadi luar biasa ketika tiba-tiba sebuah
musibah menghampirinya. Umurnya 12 tahun waktu itu. Pada suatu malam di bulan
Ramadhan telapak tangan kanannya hancur karena petasan yang dinyalakannya. Dengan
berbekal uang seadanya segera dia dilarikan oleh kakak tertua dan bapaknya ke rumah
sakit di kota.
Satu bulan, dua bulan lukanya tak kunjung mambaik. Bau yang menyengat menandakan
lukanya sudah mulai membusuk. Seiring dengan berjalannya waktu, pembusukan mulai
merambat ke atas. Teman-temannya mulai mengejeknya dengan memanggilnya si bacin
yang dalam bahasa Indonesia berarti busuk, bahkan ada yang tidak mau bermain lagi
bersamanya. Beberapa kali saya melihat dia berlari sekancang-kencangnya ketika hinaan
temannya sudah kelewatan. Dia selalu berusaha untuk tidak menumpahkan mendung di
matanya di depan teman-teman yang mengejeknya. Hingga pada akhirnya dia sama sekali
tidak mau sekolah lagi kerena merasa malu meskipun guru dan kepala sekolahnya
berkali-kali datang membujuk.
Diantara keterbatasan akan biaya, untuk menghindari semakin meluasnya pembusukan di
tangannya, akhirnya orang tuanya setuju dilakukan amputasi sebatas siku. Sedih sekali
ketika dia tahu satu tangannya telah hilang. Bahkan dia sempat mengamuk meminta
tangannya dikembalikan seperti semula. Dengan perlahan orang-orang di sekitarnya
membesarkan hatinya yang terguncang hingga akhirnya dia bisa menerima keadaan
meskipun terpaksa.
Setelah sembuh, dia kembali lagi bersekolah karena usaha keras dari orang-tua, saudara,
guru dan teman-teman yang berusaha membujuknya. Terbayang bagaimana dia berusaha
mengoperasikan tangan kirinya untuk mengerjakan semua tugas tangan kanannya yang
sudah hilang. Menulis, makan, menyabit rumput dan lain sebagainya. Terbayang
bagaimana dia pertama kalinya melangkahkan kaki ke sekolah hanya dengan satu tangan,
hampir semua mata memandang satu tangannya yang telah hilang. Dan bagaimana dia
menyiapkan hati untuk mendengar ejekan teman-temannya.
Seiring dengan berjalannya waktu, dia berusaha bangkit kembali membangun rasa
percaya diri yang terkoyak oleh keadaan. Ejekan teman-temannya yang memanggil
namanya dengan buntungpun tidak menyurutkan semangatnya untuk terus belajar dan
berusaha. Prestasi akademisnya tidak berubah, masih tetap ranking satu di kelasnya
hingga tamat SD.
Seperti kakak-kakaknya yang lain, setelah tamat SD diapun tidak berencana melanjutkan
sekolah ke SMP karena keterbatasan biaya. Namun salah satu guru SD-nya yang bisa membaca potensi yang ada dalam dirinya meminta ijin kepada orang tuanya untuk
membiayai sekolahnya di kota. Dia juga dikirim ke Rehabilitation center (RC), yang
menangani anak-anak cacat, di kota Solo. Di RC itulah dia menemukan dunia baru,
keluarga, orang tua, guru, saudara dan teman-teman senasib. Bermain, belajar, olahraga
dilakukan dalam kebersamaan. Saling membantu dan menguatkan disaat masalah
melanda dan ketika krisis percaya diri menghampiri.
Ejekan, cemoohan, cibiran dan pandangan sinis akan kecacatan dirinya menjadi santapan
sehari-hari, yang semakin mencambuk semangatnya untuk terus berusaha. Terbukti
rangking pertama di sekolah masih terus dipegangnya.
Masalah serius timbul ketika kelas satu SMA di akhir semester pertama. Entah karena
apa, orang yang selama ini manopang hidupnya tidak bersedia lagi membantunya.
Otomastis setelah itu tidak ada lagi yang membiayai hidupnya. Dia berencana bekerja
sepulang sekolah. Keluar masuk toko, bengkel dan restoran mulai dijalaninya untuk
mendapatkan pekerjaan. Tapi mana ada orang yang percaya dengan hasil kerja seorang
anak bertubuh kurus yang hanya mempunyai tangan satu seperti dirinya. Semua
menjawab "Sedang tidak butuh tambahan tenaga" atau "Tidak ada lowongan kerja".
Untuk minta pada orang tuanya tak mungkin dilakukan. Sawah satu petak yang dijadikan
tumpuan harapan hidup sekeluarga sudah terjual separohnya untuk biaya amputasi tangan
kanannya.
Dalam kepasrahan, pada Yang Kuasa dia berdoa. Mohon diberikan jalan untuk mengatasi
persoalan hidupnya. Di batas ambang putus asa, dia bercerita pada seorang teman
baiknya di sekolah, mengutarakan niatnya untuk pulang ke kampung kembali kepada
orang tua dan saudara-saudara yang dicintainya, meninggalkan sekolahnya. Dia ceritakan
juga masalah yang sedang menghimpitnya.
Sungguh Allah Maha Pengatur atas segalanya. Hanya selisih tiga jam sejak dia bercerita,
tiba-tiba temannya tadi datang menemuinya di rumah kos, tidak jauh dari RC. Mengikuti
langkahnya seorang laki-laki setengah tua berbadan tegap yang akhirnya diketahui
sebagai penyelamat masa depannya. Seorang pengusaha kaya yang tidak lain adalah
bapak dari sahabatnya itu. Sujud syukur tanpa ditunda dilakukannya. Tak kuasa menahan
haru di hatinya hingga butir-butir bening menetes dari kedua sudut matanya. Segera dia
jabat dan cium tangan kedua laki-laki di hadapannya. Tak ketinggalan dia sampaikan rasa
terimakasih yang teramat sangat atas kebaikannya.
Begitulah. Hingga akhirnya dia lulus dari SMA dengan nilai yang sangat memuaskan.
Masuk perguruan tinggi negeri favorit di kota Yogykarta tanpa tes. Proses untuk
mendapatkan gelar sarjana dilaluinya dengan lancar, hampir tidak ada hambatan yang
berarti. Cemoohan, ejekan dan cibiran berganti dengan decak kagum akan prestasi yang
diraihnya.
Selepas kuliah, setelah melewati jalan yang berliku, akhirnya dia diterima bekerja di
salah satu perusahan swasta di kota kami. Sekarang dia tahu kenapa Allah mengambil
kembali tangan kanannya hingga dia bertemu orang-orang dermawan yang menghantarkan langkahnya mengejar masa depan. Sudah saatnya dia menikmati buah
atas penderitaan dan usaha kerasnya selama ini. Memetik hikmah atas musibah yang
telah menimpanya.
Kini dia menjadi tumpuan hidup keluarga, Bapak, ibu, adik-adik dan seorang kakaknya
yang sudah menjanda beserta anak tunggalnya. Dia juga yang menanggung biaya sekolah
adik-adik dan keponakannya. Ada satu keinginan yang belum didapatkannya, anak yang
banyak dari istri yang setahun lalu dinikahinya. Kepada mereka akan diajarkan
bagaimana cara bersyukur, menghargai dan menghormati orang lain tanpa melihat status
sosial dan juga kelengkapan fisik. Bukankan Allah Yang Maha Penyayang tidak pernah
membeda-bedakan umatnya hanya karena hal tersebut. Hanya iman di dadalah yang
membedakan kita di mataNya.
***

Ia yang Selalu Berbagi Kasih

The origin of the child is a mother and is a woman. One shows a man what love, sharing
and caring its all about
Asal mula seorang anak adalah seorang ibu yang juga merupakan seorang wanita,
seseorang yang mengajarkan seorang anak manusia tentang makna kasih sayang, sosok
manusia yang senantiasa membagi dan menjaga seluruh kasihnya.

eramuslim - Untaian kalimat yang kubaca dalam sebuah majalah sekitar delapan atau
sepuluh tahun yang lalu itu masih terpatri dalam ingatan meskipun aku sudah lupa siapa
wanita yang mengucapkannya. Kalimat itu kuanggap penting karena kalimat singkat itu
telah mengajarkanku betapa berartinya sosok seorang ibu.
Keberartian sosok seorang ibu juga telah berulang kali digambarkan dalam beberapa
buah hadits. Sebuah hadits Muttafaq Alaihi menggambarkan situasi pada saat Asma' binti
Abi Bakar R.A menanyakan perihal kedatangan ibunya yang masih musyrik pada masa
Rasulullah. Lalu Asma meminta petunjuk kepada Rasulullah seraya berucap, "Ibuku telah
datang dengan penuh harapan kepadaku, apakah aku harus menyambung hubungan dengan ibuku itu?"
Beliau menjawab, "Benar sambunglah hubungan dengan ibumu!"
Pada suatu ketika pernah datang kepada Ibnu Abbas R.A seorang laki-laki dengan
mengatakan , "Aku telah melamar seorang wanita, tetapi wanita itu menolak untuk
menikah denganku. Lalu dia dilamar oleh laki-laki lain dan dia senang untuk menikah
dengannya, kemudian aku cemburu dengannya dan membunuh wanita itu. Apakah aku
masih dapat bertaubat?" Beliau bertanya, "Apakah ibumu masih hidup?" Dia menjawab,
"Tidak!" Selanjutnya beliau mengatakan , "Bertaubatlah kepada Allah Azza wa Jalla dan
mendekatkan diri kepada-Nya semampu kamu!". Atha' bin Yasar berkata, "Hadits ini
diriwayatkan dari Ibnu Abbas" lalu aku menemui Ibnu Abbas dan bertanya kepadanya,
"Mengapa engkau menanyakan mengenai hidup ibunya?" Ibnu Abbas pun menjawab,
"Sesungguhnya aku tidak mengetahui suatu amalan yang lebih dekat dengan Azza wa
Jala selain berbakti kepada ibu" (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Al-Adabul
Mufrad).
Seorang psikoanalis barat bernama Erich Fromm pun tidak melepaskan pembahasan
tentang cinta kasih ibu dalam beberapa bagian bukunya. Ia dengan indahnya
mengungkapkan bahwa cinta ibu adalah peneguhan tanpa syarat terhadap hidup dan
kebutuhan seorang anak. Cinta ibu akan mengajarkan tentang makna pemeliharaan dan
tanggung jawab yang tentunya sangat penting bagi kelanjutan hidup dan perkembangan
anak. Cinta ibu pulalah yang akan menanamkan rasa syukur pada Tuhan dalam diri setiap
anak atas kehidupan yang diterimanya, atas jenis kelaminnya, dan atas kelahirannya di
muka bumi. Rasa syukur setiap anak tersebut pada akhirnya akan membuat ia mencintai
kehidupan dan bukan hanya berkeinginan untuk tetap hidup.
Ibu seringkali dilambangkan sebagai tanah atau alam, oleh karena itu muncul istilah,
mother land atau mother nature. Hal ini terjadi karena ibu adalah sosok yang subur
seperti halnya tanah dan alam yang menawarkan kelimpahan susu dan madu. Susu
merupakan simbol pemeliharaan dan peneguhan kasih ibu. Sedangkan madu
melambangkan kecintaan dan kebahagiaan dalam kehidupan. Banyak ibu yang dapat
memberikan susu pada anak-anaknya, namun hanya sedikit yang mampu memberikan
madu. Untuk dapat memberikan madu, seorang ibu tidak hanya harus menjadi ibu yang
baik, namun harus menjadi sosok pribadi yang penuh kasih sayang. Yakni sosok
perempuan yang lebih berbahagia dalam memberi dibandingkan menerima, serta sosok
yang betul-betul kukuh berakar pada eksistensinya. Sehingga ia tidak lagi menginginkan
apa-apa untuk dirinya sendiri.
Al-Quran juga telah mengingatkan keutamaan ibu dengan menggambarkan penderitaan
yang dirasakannya dalam dua periode kehidupan (mengandung dan menyusui).
"Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya.
Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang
tuamu. Hanya kepada-Ku kamu kembali." (Luqman:14) Cinta kasih ibu memang sulit untuk dicapai, karena cintanya yang bersifat sangat altruis
dan tanpa syarat. Cinta dalam keadaan di mana satu pihak memerlukan segala bantuan
dan pihak lainnya memberikan segalanya. Namun ketulusan dan kesabaran ibu dalam
mencintai semua anak-anaknya telah membuat cintanya dikategorikan sebagai jenis cinta
yang tertinggi dan sebagai suatu ikatan emosional yang paling luhur.
Dan jika saja ada yang bertanya apakah yang ingin kusampaikan pada ibu, mungkin
penggalan kalimat dari Gus TF Sakai, seorang penulis dari Sumatera Barat ini dapat
sedikit mewakili perasaanku "...Bu kupandang hidup ini dari segala sesutu yang pernah
kudengar dari mulutmu. Kuterjemahkan ia dalam langkahku, dan kususun dalam baris-
baris kalimat di mana aku belajar memahami sesuatu. Sesuatu yang harus kutemui dan
yang bisa mengantarkanku, bukankah begitu?..."
***


PADEPOKAN AHMAD MALIK: - Saya punya kebiasaan baru saat bangun pagi hari. Mengambil selembar
(atau berlembar-lembar) Post It, menulisinya dengan kalimat pendek dan
menempelkannya di lemari kayu, di sebelah kepala tempat tidur saya. Kertas berwarna
kuning itu cukup mencolok dengan tulisan tangan menggunakan pulpen warna warni dan
ber-glitter.
"No more complaining on every thing!"
"No more telling every body about your misery!"
"Staying cool in any situation!"
Aha, tiga kalimat itu sudah beberapa hari bertengger disana dan saya senang
membacainya kembali setiap kali. Kalimat-kalimat itu menjadi resolusi harian saya, yang
saya usahakan pegang kuat-kuat dan semaksimal mungkin saya laksanakan. Resolusi.
Apa sih artinya? Selama ini kata ini tersebut lebih kita kenal sebagai sebuah istilah untuk
sikap resmi yang diambil badan dunia PBB terhadap situasi dunia atau negara yang
diawasi PBB. Menurut Concise Oxford Dictionary, Resolusi atau resolution adalah a firm
decision that is a formal expression of opinion or intention agreed on by a legislative
body. Hmm, tidak jauh beda.
Tapi dalam banyak hal, resolusi biasa digunakan sebagai istilah personal yang dapat kita
terapkan bagi diri kita pribadi untuk mendapatkan suatu capaian tertentu. Biasanya
resolusi dibuat saat tahun baru, ulang tahun atau momen-momen khusus lainnya. Namun
bisa juga dibuat resolusi harian. Misal, "tahun ini saya harus Lulus dengan rata-rata nilai
A". Atau "Saya tidak akan merokok lagi hari ini". Dan saya lebih suka menggunakannya
untuk membuat resolusi harian, terutama untuk menghentikan kebiasaan/karakter negatif. Pagi kemarin resolusi saya adalah "No more complaining on everything" karena selama
ini saya sering mengeluh dan menggugat banyak hal yang tidak sesuai dengan keinginan
saya. Setiap kali saya mulai mengeluh, saya teringat dan diingatkan oleh resolusi itu
sehingga saya berhenti mengeluh. Pagi yang lain resolusi saya adalah "stay cool ini any
situation" karena selama ini saya gampang sekali panik jika ada hal yang tak beres.
Resolusi itu mengingatkan saya untuk tetap bersikap kalem dan tenang meskipun ada
masalah besar di depan mata.
***
Rasulullah mengajarkan kita untuk memuhasabah diri setiap malam atau kapan pun
dalam kehidupan kita. Melihat mana yang buruk untuk ditinggalkan dan mana yang baik
untuk dipertahankan dan ditingkatkan.
Rasulullah juga menyatakan bahwa orang-orang yang hari ini lebih baik dari hari kemarin
maka dia beruntung. Yang hari ini sama dengan kemarin maka dia merugi. Dan yang hari
ini lebih buruk daripada kemarin maka dia terlaknat. Resolusi dapat kita tetapkan setelah
kita memuhasabah diri. Dan insya Allah ia akan membantu kita tampil lebih baik hari
dibanding kemarin.
Pagi ini, tempelan di lemari kayu saya bertambah lagi:
"Easy Going aja lah. Jangan terlalu serius menyikapi segala hal!"
Aha, saya juga senang membacanya. Menyimpannya dalam benak dan berusaha
memaksimalkannya. Resolusi itu saya tetapkan setelah seorang teman berkomentar saya
terlalu serius dan mendramatisir masalah yang sebenarnya (mungkin) sederhana. Selamat
mencoba memberi resolusi bagi diri sendiri!
***

Laksana Ragam Bunga


PADEPOKAN AHMAD MALIK: - Lihatlah betapa indahnya taman bunga. Beragam jenis warna dan bau
wewangian ada di sana. Ada yang merah, putih, kuning, ungu, dan lain sebagainya. Ada
pula yang besar namun banyak juga yang kecil. Semuanya mempesona untuk menghiasi
dunia. Betapa Allah itu Maha Indah, dan menyukai keindahan dengan menciptakan
taman bunga justru dari beragam hal-hal yang berbeda. Berpadu menyemburatkan nuansa
indah, menggoda mata untuk meliriknya. Coba pula amati keindahan kuntum bunga yang sedang berkembang. Mekar mewangi
menengadahkan kelopaknya ke langit. Dengarlah simfoni alam yang mengalunkan tasbih
dan tahmid, tatkala bulir-bulir embun di ujung daun jatuh ke tanah. Rasakan juga
kelembutan sinar mentari yang diselingi tiupan semilir angin.
Indah...
Semua begitu indah mempesona. Mengalunkan untaian senandung kesyukuran kepada
Sang Pencipta.
Hmm...
Bukankah kehidupan kita pun laksana ragam bunga di taman? Penuh dengan segala fitrah
perbedaan. Namun itulah yang membuat hidup ini menjadi penuh warna dan makna.
Bahkan, mestinya sebuah perbedaan justru harus menjadi pelajaran. Tentang bagaimana
kita menghadapi, dan memetik hikmah dari semua perbedaan yang terjadi.
Namun sayang...
Terkadang kita semua bukanlah laksana taman bunga yang dengan segala perbedaannya
menimbulkan keindahan. Masing-masing kita seumpama sekuntum bunga yang ingin
menyeruak sendirian. Berupaya agar kuntumnya saja yang terlihat cantik, indah dan
menawan. Padahal, andaikan semua kuntum bunga itu mekar bersama, tentu akan
menimbulkan keindahan yang lebih menakjubkan.
Betapa di zaman sekarang ini umat Islam sedang dalam kehinaan, sedangkan kita masih
saja larut dengan kesibukan mempermasalahkan perbedaan khilafiyah. Bahkan, tak jarang
hingga melepaskan ikatan tali persaudaraan. Kadang kita pun lupa dengan saudara kita
sendiri yang juga berjuang untuk kemuliaan Islam. Buruk sangka dan saling
menjatuhkan, sehingga yang terjadi adalah perpecahan.
Sesungguhnya, ide dan gagasan dakwah yang beragam itu adalah kekuatan. Semua akan
menjadi sebuah gerakan terorganisir, rapih, solid dan militan yang Insya Allah mengubah
kondisi ummat hingga tak ada lagi fitnah atas Islam. Menciptakan sebuah taman yang
indah, dari beragam bunga, sehingga bukan kita saja yang menikmatinya. Namun, akan
menjadi taman bunga yang mengundang semua orang dari segala penjuru dunia untuk
bersama menikmati keindahannya. Bukankah seorang mujahid Islam, Hasan Al-Banna,
pun pernah mengatakan bahwa perbedaan itu bukanlah suatu kemustahilan. Tetapi yang
diharapkan, walaupun mempunyai kepentingan sendiri, jangan sampai menutupi
kepentingan bersama untuk menegakkan qalam illahi di muka bumi.
Antum ruhun jadidah tarsi fi ja-sadil ummah!
Kita lah ruh dan jiwa baru itu. Yang mengalir di tubuh ummat, menghidupkan tubuh yang
mati dengan Al-Quran. Siap menjadi anak-anak panah yang dilepaskan dari sebuah
busur, pedang-pedang tajam untuk menebas musuh,
atau laksana dahsyatnya butir peluru yang ditembakkan dan melaju. Wujudkan seluruh kemampuan untuk kemuliaan Islam hingga jihad fi sabilillah menemui
kita. Karena setiap dirimu pun laksana sekuntum bunga dari sekian banyak ragam bunga
di dunia. Tumbuh dan mekarlah dengan khas wewangian-mu. Sirami selalu dengan
aqidah dan akhlak terbaik, hingga tiba saatnya kita bersama menghiasi dunia ini dengan
keindahan ajaran Islam.
Kemenangan yang dijanjikan itu akan tiba, percayalah!
Semoga tak akan ada lagi di antara kita yang merasa jamaahnya saja yang terbesar, paling
benar, terbanyak pengikutnya atau telah banyak berbuat untuk Islam. Siapkan diri,
rapatkan barisan, luruskan shaf, rajut ukhuwah Islamiyah di antara kita.
Siapapun engkau, apapun namanya dirimu, jangan pedulikan. Karena yang terpenting
kita semua adalah bunga-bunga Islam yang siap sedia menyebarkan wanginya ke segala
penjuru dunia.
Galang persatuan dan kesatuan, bersama tegakkan Al-Islam.
Allahu Akbar!
Wallahu a'lamu bish-shawaab.
***
-
Berjuang Melawan Nafsu Diri


PADEPOKAN AHMAD MALIK: - Beberapa waktu lalu, pembantu rumah tangga, sebelah majikan saya,
disuruh pulang oleh majikan perempuannya. Padahal ia belum genap dua tahun bekerja di
Brunei. Permasalahan yang saya dengar, dia menjalin hubungan asmara dengan
majikannya yang laki-laki.
Seminggu kemudian, seorang pekerja restoran, yang setiap hari saya kirimi mie, tidak
kelihatan bekerja. Dari temannya saya tahu jika ia ternyata sudah pulang. Saya kaget lagi.
Informasi selanjutnya yang saya peroleh, dia baru saja menggugurkan kandungan di
sebuah rumah sakit. Dan tubuhnya terlalu lemah. Hingga akhirnya terpaksa ia pulang. Rupanya selama bekerja di negeri orang, ia berpacaran lagi dengan seorang lelaki
restoran sebelah. Padahal di rumah ia sudah punya suami dan satu anak.
Terakhir, teman saya, seorang sopir di sebuah warung makan, terpaksa harus cepat-cepat
kawin, karena perempuan yang dipacarinya sudah dua bulan tidak haid. Dan lagi-lagi,
terpaksa, keduanya harus pulang ke tanah air.
Belum lupa dengan tiga kabar tersebut, suatu malam, majikan saya memberi tahu, kabar
yang dibacanya di koran memberitakan, polisi menangkap dua pekerja Indonesia. Mereka
seorang lelaki dan perempuan. Keduanya tertangkap basah ketika sedang bercinta di
suatu tempat.
Satu persatu peristiwa-peristiwa yang menimpa sahabat-sahabat saya bermunculan. Dan
itu akan terus disusul dengan berita-berita lain tentunya. Ada yang lucu, unik, tapi ada
juga yang sangat serius jika kita lihat dari sudut pandang keimanan. Mengapa tidak?
Seorang muslim, yang sedang merantau jauh ke negeri orang, ternyata harus terhempas
oleh pernik-pernik nafsu setan.
Akhir-akhir ini, saya sering mendapat surat, telepon dan juga email, dari sahabat,
tetangga dan juga saudara-saudara saya. Mereka menanyakan pada saya bagaimana
caranya bekerja di luar negeri. Atau beberapa teman malah ingin dicarikan kerja di
Brunei, karena katanya di Jakarta gajinya hanya cukup untuk makan dan bayar kontrakan.
Saya berusaha menerangkan kepada mereka dan sedikit memberi rambu-rambu. Sebab
proses bekerja di luar negeri tidak seperti yang dibayangkan. Saya juga memberikan
saran agar hati-hati berhubungan dengan PJTKI, atau orang-orang yang mencari tenaga
kerja di kampung-kampung. Sebab jika tidak berhati-hati bisa terjerumus sendiri. Banyak
sahabat-sahabat kami yang terlunta-lunta di perbatasan, karena ternyata visa kerjanya
belum ada. Seperti di sebuah kota kecil di perbatasan Indonesia-Malaysia, Singkawang.
Bekerja di luar negeri sah-sah saja. Mereka mungkin tergiur dengan kesuksesan
tetangganya. Yang setelah bekerja di luar negeri mampu memperbaiki rumah,
menyekolahkan anak, beli tanah dan bisa membeli kebutuhan lainnya. Sehingga kerja di
luar negeri seolah sangat indah. Seperti indahnya sebuah gunung yang dilihat dari
kejauhan. Atau mungkin karena betapa susahnya mencari penghidupan di sebuah negeri
yang bernama Indonesia. Sebab bagi sebagian orang, seperti saya, bisa diandaikan seperti
ayam yang sekarat di dalam lumbung padi. Permasalahannya, negeri yang makmur, kata
para komponis lagu kebangsaan, negeri belahan sorga, kata Cak Nun, itu masih belum
bisa memberikan semacam kesejahteraan pada sebagian rakyatnya. Sehingga mereka
beranggapan, bahwa di luar negeri sedang hujan emas, sedang di tanah air sendiri sedang
hujan batu.
Dan tak lupa saya juga tekankan pada sahabat saya, jika proses medical check sudah
selesai, bukanlah selesai segala-galanya. Ada sesuatu yang maha penting di samping
kesehatan fisik, yaitu kekuatan iman. Sebab di luar negeri banyak godaan, seperti saya
ceritakan di atas tadi. Sebelum kita berjuang melawan hal-hal lain, seperti mungkin akan menemui majikan
keras, mungkin gaji tak terbayar, job kerja tidak sesuai, atau masa kerja yang tidak sesuai
dengan aturan buruh, maka hal terpenting yang harus diperhatikan adalah sejauh mana
kekuatan iman untuk melawan diri sendiri. Kata Rasulullah, justru perjuangan melawan
diri sendirilah yang terberat sebelum terjun ke kancah perjuangan yang lain. Bahkan lebih
berat dari perang Badar.
Saya bukan lagi sok alim. Atau sedang bergaya kesufi-sufian. Sama sekali tidak. Bahkan
saya pun tentu masih belepotan dengan daki-daki dosa. Saya hanya tergerak dengan
firman Allah: Bahwa kita harus saling mengingatkan dalam hal kebenaran dan kesabaran.
Kenapa ini penting? Karena banyak sekali kejadian-kejadian di sekitar saya, yang intinya
sebenarnya adalah lemah iman.
Berbekal iman, saya yakin tidak akan rugi. Bahkan akan menuai keuntungan yang sangat
besar.
Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang yahudi, orang-orang nasrani, orang-
orang shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari
kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS Al
Baqarah 62)
Sebab belum lama ini, saya juga mendapat suatu kejadian juga. Seorang teman, memberi
saya nomor HP. Setelah saya hubungi, tenyata nomor itu milik seorang perempuan.
Sebelum saya bicara banyak, ia telah nyerocos bicara terlebih dahulu. Ia menawari saya
untuk jumpa di mana. Jam berapa. Ia siap bertemu kapan dan di mana saja. Dan terakhir
ia juga siap diajak ke mana saja jika saya mau. Termasuk tidur bersama. katanya. Na
'udzubillahi mindzalik.
Saya kaget. Pikiran saya menerawang. Ternyata di negeri yang orangnya hampir semua
haji ini, ada juga praktek 'jual diri'. Selama ini saya tidak pernah membayangkan. Sebab
memang tidak terang-terangan seperti di negeri saya, Indonesia.
Sejurus, saya ingat kata-kata Umar bin Khattab: "Seandainya tidak ada akhirat, saya
akan nikmati dunia ini sepuas-puasnya."
Kalimat dari sahabat nabi yang gagah berani itu, seolah menyiram tubuh saya dari ujung
rambut sampai ujung kaki. Tentu saja, kalimat itu sangat menyejukkan. Karena keluar
dari seorang manusia yang roh imannya sudah begitu kuat. Sehingga menambah sedikit
benteng pertahanan nafsu dunia saya.
Maka kepada sahabat saya yang ingin kerja di luar negeri itu, saya menyarankan agar
berlatih terus menerus untuk berjuang melawan diri. Melawan nafsu pribadi. Sehingga
kelak setelah di luar negeri akan menang melawan siapapun. Apalagi hanya sekedar
tawaran manis dari bibir-bibir perempuan. Sebab maaf-maaf saja, Depnaker maupun
PJTKI, saat ini belum mengingatkan hal semacam itu. Kecuali hanya "Kuatkan Fisik Anda Sebelum Kerja di Luar Negri". Itu saja yang terpampang di kantor-kantor
Depnaker, maupun kantor-kantor PJTKI.
***

(Sebuah catatan kecil untuk seorang sahabat yang ingin kerja di negeri seberang, Brunei Darussalam)


Waktu Seperti Pedang


PADEPOKAN AHMAD MALIK: - Zaman semakin modern, banyak orang merasa sangat sibuk. Baginya,
waktu adalah uang. Kontras dengan itu, tidak sedikit pula manusia yang menghambur-
hamburkan waktunya. Mereka memiliki motto: "Waktu muda hura-hura, waktu tua kaya
raya, kalau mati masuk surga". Namun pandangan mereka mungkin akan berubah kalau
saja mereka bisa meresapi makna sebuah sya'ir Arab yang menggambarkan karakter sang
waktu: Al-Waqt ka al-saif. Fa in lam taqtha'haa qath'aka (Waktu laksana pedang, jika
kamu tidak memanfaatkannya maka ia akan menebasmu).
***
Waktu adalah salah satu dimensi dalam hidup manusia. Karakternya, waktu senantiasa
berpacu secara cepat, tanpa terasa, dan tiba-tiba menghujam. Tidaklah heran mengapa
masyarakat Arab mengkiaskan cepatnya waktu dengan kilatan pedang menyambar. Agar
dapat meresapi cara mengatur waktu yang baik agaknya kita perlu belajar dari seorang
ksatria mengenai teknik memainkan sebilah pedang. Saya teringat kisah kepiawaian
sahabat nabi, Khalid bin Walid dalam bermain pedang. Begitu piawainya ia sampai-
sampai dijuluki Saifullah (pedang Allah).
Suatu saat Khalid memimpin pasukan Islam bertempur sengit di Yarmuk (wilayah
perbatasan dengan Syria) melawan pasukan Romawi di bawah panglima Gregorius
Theodore. Berkat kepandaiannya bermain pedang, banyak pasukan musuh terbunuh. Lalu
terjadilah sebuah peristiwa yang mengesankan.
Gregorius ingin menghindari jatuhnya banyak korban di pihaknya dengan menantang
Khalid untuk berduel. Dalam pertempuran dua orang itu, tombak Gregorius patah terkena
sabetan pedang Khalid. Gregorius lalu mengambil sebilah pedang besar. Ketika berancang-ancang perang lagi, Gregorius bertanya pada Khalid tentang motivasinya
berperang dan kaitannya dengan Islam. Terkesan oleh jawaban Khalid, di hadapan
ratusan ribu pasukan Romawi dan Muslim, Gregorius akhirnya menyatakan diri masuk
Islam. Ia lalu belajar Islam sekilas, sempat menunaikan salat dua rakaat, bertempur di
samping Khalid dan akhirnya mati syahid di tangan mantan pasukannya sendiri.
Apa rahasia kesuksesan Khalid? Ternyata kepandaiannya mengibaskan pedang dilandasi
dengan iman kepada Allah SWT. Akibatnya lawan yang berhasil ditebasnya hanya
musuh-musuh Islam. Sama halnya dengan waktu, berbagai aktivitas untuk mengisinya
perlu juga didasari dengan iman yang kuat sehingga menjadi amal shaleh. Sebuah
pelajaran yang menarik, bahwa berbuat baik saja ternyata tidak cukup tanpa dilandasi
dengan iman dan sesuai dengan syariat-Nya.
Allah SWT pun sering mengingatkan manusia dalam berbagai firman-Nya mengenai
pentingnya kedua kunci manajemen waktu tersebut. Bahkan dalam QS. Al-Ashr, Dia
menambahkan dua kriteria lagi untuk menghindari kerugian yaitu saling nasehat-
menasehati dalam kebaikan dan ajak-mengajak dalam kesabaran.
Manusia yang bisa memanfaatkan karunia waktu secara fitrah akan mencapai kesuksesan
seperti Khalid bin Walid. Namun jika manusia lengah barang sedetik pun, pedang lawan
bisa menghunusnya dan berakhir dengan penyesalan.
***
Sikap seorang Muslim terhadap waktu dapat diibaratkan dengan sikap seorang ksatria
terhadap pedang andalannya. Semakin sering berlatih dan bertempur, maka ia akan
semakin berpengalaman dan semakin berkualitas permainannya, akhirnya semakin sulit
dikalahkan. Namun demikian menjadi ksatria andalan tidak menjadikannya terlena,
lengah, sombong, dan mengurangi latihan. Justru sebaliknya, ia makin meningkatkan
kewaspadaan dan tekun berlatih di waktu senggang agar selalu tangguh.
Ia tidak segan-segan mengevaluasi dirinya agar kualitas permainannya terus teruji.
Seorang ksatria yang berilmu padi justru mempergunakan kepiawaiannya sesuai dengan
porsi yang dibutuhkan, mengikuti aturan yang digariskan-Nya untuk membela
Diennullah. Itu semua ia lakukan karena sangat paham bahwa kepandaiannya akan
dimintai pertanggung-jawaban oleh Yang Maha Kuasa di akhirat kelak.
Sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan Mu'adz bin Jabal, "Tidak akan tergelincir
(binasa) kedua kaki seorang hamba di hari kiamat, hingga ditanyakan kepadanya 4
perkara, usianya untuk apa ia habiskan, masa mudanya bagaimana ia pergunakan,
hartanya dari mana ia dapatkan dan pada siapa ia keluarkan, ilmunya dan apa-apa yang
ia perbuat dengannya." (HR. Bazzar dan Thabrani).
Demikianlah, seorang muslim harus menyatukan sang waktu ke dalam jiwanya yang
beriman sebagaimana pedang Khalid bin Walid yang berpadu dengan kemahirannya. Bukankah motto hidup seorang muslim seharusnya adalah "Hayatuna kulluha 'ibadah."
(Hidup seluruhnya untuk ibadah).
***

Manusia-Manusia Malam


PADEPOKAN AHMAD MALIK: - Malam bagi sebagian orang yang merasakannya, ada nuansa tersendiri
untuk jiwa. Dalam waktu dua belas jam itu segala aktivitas yang biasa terjadi siang hari
terhenti. Dan ketika kegelapan menutupi jagat maha luas berdiameter 4,9 exp 9 pc ini,
saat itulah keluar binatang malam pertanda dimulai kehidupan lain. Kehidupan malam.
Saat terindah bagi sang zahid menghitung-hitung, dan menimbang-nimbang potongan-
potongan kehidupannya.
Pukul 15.30 menit waktu Kairo ketika ia dihubungi via SMS. Usai shalat Ashar di
perempatan mesjid Rab'ah El Adawea. Fisiknya masih lelah, ia baru saja pulang kuliah.
Tapi, percikan air wudhu tadi cukup memberinya kesegaran baru, dan shalat Ashar yang
baru ditunaikannya menambah energi jiwanya. Sendi-sendinya kembali segar untuk
melakukan aktivitas baru.
"Nanti malam usai shalat Isya, kita bertemu untuk qiyamul lail" begitu bunyi SMS itu.
Ia menghela nafas panjang. Sesaat memutar otaknya ke janji pertemuan yang lain. Ia
teringat, tadi di kuliah ia bertemu kawannya satu grup sepak bola. Olah raga rutinnya
setiap minggu. Kawannya itu mengajak bertanding di stadion Syabab, Abbasea. Dekat
asrama internasional Al-Azhar. Sebuah stadion yang biasa disewakan kepada pelajar
asing. Tawaran itu begitu menggiurkannya, karena akan bertanding di malam hari. Usai
shalat Isya. Sesuatu yang belum pernah dirasakannya, bermain di bawah lampu tembak
dengan ribuan watt. Selama ini hanya melihatnya di layar televisi, ketika ada
pertandingan yang benar-benar bagus. Dan besok libur akhir pekan.
Pikiran jernihnya lebih memilih untuk ikut acara perkumpulan itu. Acara yang sederhana,
tapi dari sana ia menemukan kenikmatan seperti malam-malam yang lalu. "Main bola
bisa lain waktu, yang ini lebih penting," gumamnya pelan menjawab protes hawa
nafsunya untuk datang ke stadion. Dalam ruang berukuran cukup luas itu berkumpul beberapa anak muda. Dari berbagai
aktivitas dan hobi. Mereka duduk bersama, wajah-wajah mereka terlihat cerah. Seakan
beban-beban siang yang menghimpit hilang begitu saja. Mereka akan menjumpai menit-
menit yang mahal itu.
Seseorang diantara mereka berkata halus, sepertinya yang mengetuai anak-anak muda itu.
Ia mengutip perkataan Muhammad Ahmad Rasyid seorang da'i pergerakan dari Irak :
"Sujud dalam mihrab, beristigfar ketika menjelang subuh, dan air mata saat munajat
merupakan ketinggian yang harus dikumpulkan orang-orang yang beriman. Jika ada
kecenderungan dengan gemerlap surga dunia berupa uang, wanita, atau sebuah istana
yang megah. Ketahuilah, sungguh surga seorang mukmin itu berada di mihrabnya"
***
Suatu waktu ia membaca kisah pemimpin besar yang dicatat sejarah. Biografi Al Faruq
Umar Bin Khattab. Otaknya bertanya-tanya apa yang dilakukan lelaki tegas itu di waktu
malam, disimaknya beberapa riwayat Umar dalam qiyamul lail.
Seorang imam ahli tafsir Al Hafidz Ibnu Katsir berkisah tentang malamnya Umar: "Ia
sholat Isya berjamaah, lalu masuk ke rumahnya dan melanjutkan shalat sampai waktu
fajar tiba."
Ia terdiam. Kagum, haru, dan dalam diam ia bertanya, sanggupkah aku menirunya? Umar
sebagai kepala negara, suami, murabbi, dan ayah untuk anak-anaknya, masih
menyempatkan diri untuk shalat malam. Ia yakin kesibukan dirinya bukan apa-apa
dibanding kesibukan khalifah kedua itu. Ia belum puas, ia simak lagi riwayat lain.
Umar pernah berkata kepada sahabat Mu'awiyah Bin Khadij-yang heran karena melihat
dirinya jarang tidur: "Jika aku tidur siang hari maka aku akan menelantarkan rakyatku,
dan jika aku tidur di malam hari aku menelantarkan diriku. Bagaimana aku bisa tidur
dengan dua keadaan ini?" inilah jawaban sederhana dari sosok pemimpin besar, yang
setan pun takut berjumpa dengannya.
Pemuda ini pemimpin sebuah persatuan pelajar asing. Ia juga seorang yang mandiri
dalam ekonomi. Masih muda, baru dua puluh dua tahun. Dengan antrian aktivitas yang
panjang. Tapi ia selalu merasa bukan apa-apa. Bukan pujian dari orang-orang yang ingin
ia terima karena sukses sebagai aktivis, atau sorak sorai penonton sepak bola saat ia
mencetak gol. Bukan, bukan itu kemuliaan. Dulu memang ia sangat menikmati 'fasilitas
dunia' itu, tapi ia merasa berjalan sendiri. Hampa seperti kapas yang ditiup angin. Ia
merasa lemah untuk memimpin diri sendiri. Cukuplah ia merasa bahagia jika di malam
yang gelap gulita ia terbangun, lalu mendirikan shalat untuk mengadukan segala
kepenatan hidup.
"Anda di sini juga?" tanyanya setengah percaya. Kawan yang disapanya itu adalah yang
tadi mengundangnya bertanding sepak bola . "Iya. Ini lebih penting." Sambil memutarkan pandangannya mengenali seluruh yang ada
dalam ruangan itu. Ia merasa kecil sendiri. Malu. Pemuda-pemuda yang ada bersamanya
sekarang adalah orang-orang yang kesibukannya lebih banyak darinya. Tapi mereka
masih menyempatkan untuk datang.
Seribu empat ratus tahun lalu Rasulullah SAW bersabda, "Kenikmatan seorang hamba
Allah adalah ketika ia shalat di waktu malam." Dan katanya lagi, "Shalat yang terbaik
adalah shalat Daud AS, tidur sampai pertengahan malam dan bangun di sepertiganya."
Setiap muslim mengenal Nabi Daud AS, pemimpin kerajaan terbesar Bani Israel
sepanjang sejarah. Kelak ia pun mendapat keturunan pemimpin besar yang rakyatnya
bukan saja manusia, namun dari bangsa Jin dan binatang-binatang patuh kepadanya.
Seorang Nabi juga, Sulaiman AS.
Lamat-lamat dalam keheningan malam di temani bau debu gurun dan samar cahaya
rembulan, terdengar seseorang melantunkan Ayat Quran. "Sesungguhnya orang-orang
yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil
mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan-nya. Sesungguhnya mereka
sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur
di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)."
(Adz Dzariyat 15-18)
***

Untuk siapa saja yang pernah 'kehilangan' malam.
Saat Bintang Meredup

Bukan karena ku berubah lemah,
Saat aku menangis di pangkuanmu ibu Bukan pula ku jadi pengecut,
Saat aku adukan semua kesal dalam dadaku Bukan pula ku tlah munafik,
Saat aku tak mampu jadi pahlawan...

eramuslim - Benar apa yang dikatakan ustadz Anis Matta, tak selamanya pahlawan
berkubang dalam keemasan di setiap detik hidupnya. Bahkan mungkin hanya ada satu
momen besar dalam hidupnya. Sisanya... berkisar kesedihan, jatuh, tertekan atau
mungkin hidup yang datar saja. Karena itulah manusia. Hamba yang diciptakan Allah penuh dengan keluh kesah dalam hidupnya. Bila ujianNya berhasil dilalui layaklah dia
menjadi bintang, atau paling tidak tergores namanya di sudut-sudut langit.
Seorang penulis terkenal misalnya. Dengan lentik-lentik jemarinya yang menari diatas
tuts keyboard komputer, dia bisa merayu manusia menuju kebaikan, dia mampu kobarkan
semangat jihad para pejuang, bahkan diapun dapat meruntuhkan jiwa-jiwa pendosa. Tapi,
suatu ketika kelak mungkin, dalam hidupnya hamba hadir cobaan hingga jiwa yang
begitu tinggi di mata pembaca menjadi lemah di hadapan seorang teman sejati. Naifkah?
Apakah kita hendak mengukur kehebatan pahlawan dari sisi manusianya? Bila kita
memandangnya sebagai manusia, itu adalah sebuah kewajaran karena manusia adalah
seorang hamba. Seorang yang kadar keimanannya bisa naik bisa turun.
Apakah kita hendak mengukur kehebatan pahlawan dari sisi ilmunya? Bila kita
memandangnya sebagai seorang ulama, itu adalah sebuah kewajaran karena ulama adalah
manusia. Makhluk yang bernama manusia yang adalah seorang hamba.
Dari sisi manapun pahlawan adalah manusia, hamba yang penuh dengan sisi-sisi
kekurangan yang di bekali Allah Subhanallahu Wa Ta'ala sebagai saudara dari kelebihan.
Begitu pula dengan kadar keimanan makhluk yang jiwanya ada diantara jemariNya,
mudah berubah.
Lalu, saat kita hendak mengadili bintang karena sinarnya yang tak lagi terang, sebenarnya
sudah adilkah kita hingga pantas untuk mengadilinya?
Saat cahaya bintang itu meredup mungkin kabut terlalu tebal melingkupinya hingga dia
perlukan pundak seorang sahabat untuk meluruhkan mendung dalam hatinya. Ataukah
bintang itu sebenarnya hanya butuh waktu bertapa sejenak dari kebisingan dunia hingga
jiwanya kembali tersucikan setelah khalwat dengan pemilik cahaya abadi. Barangkali
bintang itu sebenarnya ingin mengungkapkan semua rahasia tapi malu karena dia adalah
bintang, hingga hanya goresan-goresan kalimat tidak jelas menghiasi buku hariannya.
Di balik itu dalam Al-quran disebutkan bahwa setiap muslim adalah bersaudara. Atau ada
ungkapan di balik lelaki yang sukses ada seorang istri yang hebat. Intinya semua hasil
tidak bisa terwujud hanya karena satu, diri. Apalagi tanpa melibatkan pemilik semesta.
Selain Allah Subhanallahu Wa Ta'ala, tempat memohon pertolongan dan berharap,
hamba butuh seorang teman sejati yang mengingatkan ke mana harus berjalan menuju
tempat pelabuhan hakiki. Sahabat sejati dapat berwujud suami/istri, orang tua, sahabat
ataukah bahkan buku/ilmu.
Merekalah penyelamat saat bintang tak mampu berdiri sendiri, saat lelah menyapa hingga
saat kesedihan membunuhnya. Merekalah jiwa-jiwa yang diturunkah Allah sebagai
Tangan-tanganNya yang penuh kasih. ...bukan karena apa ataukah apa
hanya saja ini adalah masanya
...
***



Dialektika Cinta

"Samudera kan ku sebrangi"
"Gunung-gunung kan ku daki"
"Belantara kan ku jelajahi"
"Bara Api kan ku tapaki"
"Tuk buktikan, Cinta ini padamu jua"

eramuslim - Inikah gerangan ungkapan sosok arjuna yang sedang mabuk kepayang
dengan unga-bunga kehidupan bernama cinta?
Kekuatan cinta senantiasa menjadi misteri, karena yang lemah tiba-tiba menjadi kuat,
yang penakut tiba-tiba menjadi berani, yang bercerai-berai tiba-tiba menjadi bersatu dan
yang tadi-nya mahal seketika menjadi murah.
Inilah kekuatan cinta, ketika semua mata mengarah memandang, ketika suasana hati
menjadi terwarnai, tidak mengenal negara dan bahasa, kekuatan cinta adalah milik
semua.
Ketika Aceh bergetar dan lautan meluap, segenap cinta pun tercurah, mengundang
pejuang cinta dari berbagai pelosok bumi untuk menumpah ruahkan bahasa cinta mereka
di bumi rencong. Entah muslim dari Turki, Mesir, Saudi, Eropa, Pakistan, India, Amerika, Kanada,
Malaysia dan pelosok lainnya , walaupun tak fasih mereka mengucap "Aku Cinta Kamu
Karena Allah" (dalam bahasa indonesia) tapi cita rasa-nya tetap terasa, rasa-nya rasa
cinta!
Karena memang cinta tak melulu harus diungkapkan dengan verbal, terkadang lebih
pekat rasa-nya jika cinta dibuktikan dengan amal.
Gustav Le Bon, seorang filusuf dan ahli psikologis dari perancis menyimpulkan bahwa
manusia pada umum-nya kesulitan mencerna sesuatu yang abstrak dibanding sesuatu
yang nyata.
Jadi, jika ungkapan verbal cinta adalah abstrak, maka amal cinta adalah nyata!
Subhanallah wa Allahmdulillahi wa la Ilaha ila Allah wa Allahu Akbar!!
Di ujung barat bumi pertiwi, Allah buktikan cinta-Nya dengan nyata, disyahidkan-Nya
sekian banyak mujahid dan mujahidah da'wah. Dibuktikan cinta-Nya kepada para
syuhada dengan jasad tetap terjaga rapih aurat-nya hingga bersamayam ke dalam lahat,
ditebarkan wangi kesturi keluar dari jasad mereka, dan dibiarkan masjid-masjid itu tetap
kokoh berdiri.
Sebagai bukti cinta, bagi para pencari cinta sejati.
Namun inilah yang disebut suka duka dalam bercinta, tak selama-nya cinta bersambut,
terkadang hanya bertampuh di sebelah tangan, sebuah cinta yang tak berbalas, tak
berbalas oleh bukti cinta. Sebuah ironi cinta.
Entah mengapa cinta itu mudah terucap, ketika diperlihatkan kebesaran Allah,
"Alhamdulillah, Subhanallah" semua bahasa verbal cinta menjadi teramat mudah terucap,
namun sayang bukti cinta-nya tak kunjung ada. Hampa! layak-nya baris-baris jama'ah di
masjid-masjid yang tersisa.
Entah mengapa warung-warung kopi dan kedai-kedai mie goreng itu bisa menjadi lebih
menarik, padahal seumur-umur kedai-kedai tersebut tak pernah mengungkapkan cinta
kepada para pengunjungnya, apalagi hingga (mampu) membuktikannya.
Rupa-nya cinta telah berlari ke lain hati, ironi cinta, cinta yang tak berbalas.
Layak-nya dialektika cinta Syaikh Abdul Mu'iz Abdus Sattar, ketika beliau diutus Al
Ikhwanul Muslimin pada tahun 1946 selama 2 bulan penuh ke Palestina untuk
menyadarkan bahaya zionis bagi eksistensi muslim Palestina.
Didapati oleh Syaikh Abdul Mu'iz kondisi Masjidil Aqsha yang senyap dari para pencari
cinta, ketika situasi ini ditanya kepada para jama'ah, jawab mereka kepada Syaikh Abdul
Mu'iz. "Sholat itu berat bagi mereka, tapi bila mereka diseru untuk berperang mereka
pasti segera memenuhi seruan secepat kilat." ***
Renungan cinta yang tak pupus oleh waktu,
"76 tahun berjalan sudah..."
"59 tahun Indonesia mengisi kemerdekaannya"
"57 tahun sejarah perjuangan Palestina"
"20 tahun lebih bunga tarbiyah bersemi"
"Aceh.... 6 tahun berjalan sudah..."
"Sayang Aceh?... 2 bulan berlalu sudah"
bagai dialektika cinta kekal Sang Khaliq kepada mahluk...
"Mohonlah pertolongan dengan sabar dan sholat" (QS Al Baqarah: 45)
***

PADEPOKAN AHMAD MALIK: -Dalam sebuah kelas pelatihan, saya mengambil selembar kertas polos
kemudian menggunting-guntingnya menjadi beberapa bagian. Ada guntingan besar, ada
juga yang kecil. Tapi jumlahnya sengaja saya buat tak sama dengan jumlah peserta dalam
kelas itu, dua puluh orang.
Kemudian saya meminta kepada peserta untuk mengambil masing-masing satu guntingan
kertas yang tersedia di meja depan. "Silahkan ambil satu!" demikian instruksi yang saya
berikan.
Dapat diduga, ada yang antusias maju dengan gerak cepat dan mengambil bagiannya, ada
yang berjalan santai, ada juga yang meminta bantuan temannya untuk mengambilkan.
Dua tiga orang bahkan terlihat bermalasan untuk mengambil, mereka berpikir toh
semuanya kebagian guntingan kertas tersebut.
Hasilnya? Empat orang terakhir tak mendapatkan guntingan kertas. Delapan orang
pertama ke depan mendapatkan guntingan besar-besar, yang berjalan santai dan yang
meminta diambilkan harus rela mendapatkan yang kecil.
Lalu saya katakan kepada mereka, "Inilah hidup. Anda ambil kesempatan yang tersedia
atau Anda akan kehilangan kesempatan itu. Anda tak melakukannya, akan banyak orang
lain yang melakukannya". Pagi ini di kereta saya mendapati seorang wanita hamil yang berdiri agak jauh. Saya
sempat berpikir bahwa orang yang paling dekat lah yang 'wajib' memberinya tempat
duduk. Tapi sedetik kemudian saya bangun dan segera memanggil ibu itu untuk duduk.
Ini perbuatan baik, jika saya tak mengambil kesempatan ini, orang lain lah yang
melakukannya. Dan belum tentu esok hari saya masih memiliki kesempatan seperti ini.
Soal rezeki misalnya, saya percaya ia tak pernah datang sendiri menghampiri orang-orang
yang lelap tertidur meski matahari sudah terik. "Bangun pagi, rezekinya dipatok ayam
tuh!" Orang tua dulu sering berucap seperti itu. Dan entah kenapa hingga detik ini saya
tak pernah bisa menyanggah ucapan orangtua perihal rezeki itu. Saya percaya bahwa
orang-orang yang lebih cepat berupaya meraihnya lah yang memiliki kesempatan untuk
mendapatkan rezeki yang lebih banyak. Sementara mereka yang bersantai-santai atau
bahkan bermalas-malasan, terdapat kemungkinan kehabisan rezeki.
Contoh kecil, datanglah terlambat dari jam kantor Anda yang semestinya. Perusahaan
tidak hanya akan mengurangi gaji Anda akibat keterlambatan Anda, bahkan kinerja Anda
dianggap minus dan itu mempengaruhi penilaian perusahaan terhadap Anda. Bisa jadi
Anda tidak mendapatkan promosi tahun ini, sementara rekan Anda yang tak pernah
terlambat lebih berpeluang.
Saya sering mendengar teman saya berkomentar negatif tentang apa yang dikerjakan
orang lain, "Ah, kalau cuma tulisan begini sih saya juga bisa melakukannya" atau "Saya
bisa melakukan yang lebih baik dari orang itu". Kepadanya saya katakan, saya yakin
Anda bisa melakukannya. Masalahnya, sejak tadi saya hanya melihat Anda terus
berbicara dan tak melakukan apa pun. Sementara orang-orang di luar sana langsung
berbuat tanpa perlu banyak bicara. Buktikan, jika Anda sanggup! Terus berbicara dan
mengomentari hasil kerja orang lain tidak akan membuat Anda diakui keberadaannya.
Hanya orang-orang yang berbuatlah yang diakui keberadaannya.
Kepada peserta di kelas pelatihan tersebut saya jelaskan, simulasi tadi juga berlaku untuk
urusan ibadah. Saya tidak berhak mengatakan bahwa orang yang lebih tepat waktu akan
mendapatkan pahala lebih besar, karena itu hak Allah dan juga tergantung dengan
kualitas ibadahnya itu sendiri. Tapi bukankah setiap orang tua akan lebih menyukai
anaknya yang tanggap dan cepat menghampiri ketika dipanggil ketimbang anak lainnya
yang menunda-nunda? Jika demikian, buatlah Allah suka kepada Anda. Karena suka
mungkin saja awal dari cinta. Semoga.


Janji untuk Ibu


PADEPOKAN AHMAD MALIK: - Pautan dua cinta yang terikat kuat antara ibu dan anak sepertinya takan
pernah putus. Tetapi kekokohannya bukan tidak mungkin usang dan kendur. Dan selalu
anak yang mengendurkan tali kasih itu. Ibu, rasanya terlalu mulia untuk dituduh
mengusangkan kekokohan pautan cinta suci yang berakar di hatinya.
Ibu tidak pernah mengumbar janji untuk menyayangi anaknya. Derai air mata dan
cucuran peluhnya jauh lebih nyaring mengatakan "sayang" ketimbang janji manis atau
bahkan omelannya ketika si anak berulah. Baginya cinta dan sayang selalu ada untuk
anak-anaknya, hingga ia tak perlu lagi janji, karena janji hanya untuk sesuatu yang belum
tersedia.
Tetapi janji adalah suara sehari-hari yang sampai ke telinga seorang ibu dari mulut anak-
anaknya. Dan sering kali janji itu jauh lebih memekakan telinga daripada menjernihkan
mata karena melihat bukti dari janji-janji itu.
Seorang anak yang merasa sudah cukup sukses suatu ketika berucap janji kepada ibu
yang disayanginya. "Ibu, kalau sudah punya cukup uang saya ingin sekali mengongkosi
ibu dan ayah naik haji." Ibunya tersenyum. Dari ujung matanya kristal-kristal bening
meleleh. Didekapnya buah hati yang memiliki niat baik itu. Tanpa suara. Hanya dadanya
yang bergemuruh memikul haru yang begitu besar. Bayangan masa-masa kecil anaknya
yang menyimpan banyak kenangan manis lalu pun hadir. Disusul bayangan kerinduan
yang sangat untuk berziarah ke baitullah. Dalam hatinya ia berucap, "Semoga niat
sucimu terkabul, sayang." Dan sebuah kecupan mendarat di dahi puterinya yang cantik
itu.
Waktu pun berlari menyisakan hitungan hari, hingga pada suatu saat keberuntungan
berpihak pada puteri cantik pemilik niat baik itu. Bersama suami dan anak-anaknya ia
kembali ke tanah air dari tugas dinas suaminya. Tentu di kantong keluarga kecil itu telah
terkumpul cukup uang. Hal ini dipahami oleh sang ibu. Seketika hatinya berbunga
menyambut kepulangan anak, mantu, dan cucunya.
Namun meski demikian, pantang bagi si ibu untuk mengungkit janji yang pernah
diucapkan puterinya tentang naik haji itu. Ia tak ingin selaksa amalnya terkotori oleh
sedikit pun pamrih. Namun, puterinya yang cantik itu seperti lupa dengan janji yang
diucapkannya. Seminggu, sebulan, dua bulan, dalam hati, seorang bunda menunggu-
nunggu anaknya yang mungkin akan memberikan buku ONH (Ongkos Naik Haji) atas
namanya dan suaminya. Waktu pun berlalu tanpa suara, seperti tak berani janji kapan
peristiwa itu akan terjadi. Hingga tibalah suatu hari, hati seorang bunda pecah dalamdiam ketika anaknya itu membeli sebidang tanah seharga tiga kali ongkos haji untuk
dibuat kolam ikan dan tempat peristirahatan keluarga kecilnya bila pulang ke desa.
Tak tahu sebesar apa gemuruh yang bergelombang di dada ibu, hanya dia yang tau,
karena ia tetap tersenyum di depan semua anaknya. Tak terkecuali di depan puterinya
yang cantik itu. Ia tak pernah menagih janji anaknya, bahkan sekedar mengungkit pun
tidak. Tapi, entah isyarat apa ketika ikan-ikan di kolam anaknya tak pernah menghasilkan
keuntungan. Rumah peristirahatannya pun menjadi hanya sebatas rumah kosong yang
tidak banyak memberi manfaat. Lalu, entah isyarat apa ketika anak-anak yang lain yang
ikut menggunakan uang anak perempuan ibu itu untuk berbagai usaha, tak satu pun dari
mereka yang sukses. Alih-alih, sebuah kesalah-pahaman keluarga terjadi meretakan
keharmonisan keluarga ibu yang diingkari janji itu.
Entah isyarat apa. Apakah itu akibat sakit hati ibu karena anaknya sendiri telah
mengingkari janji untuknya? Hanya "mungkin" jawabannya. Karena senyum ibu tidak
pernah berubah untuk semua anaknya; do'a ibu tidak pernah berganti untuk semua buah
hatinya, selalu untuk kebaikan; dan pangkuan serta pelukannya selalu terbuka untuk
seluruh belahan jiwanya. Tapi apakah seorang ibu tidak bisa sakit hati? itu juga
pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Karena ibu juga manusia biasa, tapi sangat luar
biasa jasanya. Terlalu mahal semua jasanya untuk ditukar dengan janji-janji kosong.
Mungkin kekebalan hati seorang ibu telah mampu menyembunyikan sepedih apapun
sakit hatinya, namun Allah tetaplah Dzat yang Maha Adil yang telah mentakdirkan
Rasul-Nya bersabda: "Keridhoan Allah ada dalam keridhoan kedua orang tua, dan
kemurkaan Allah ada dalam kemurkaan Allah."
Mungkin lautan kasih sayang ibu terlalu dalam untuk sekedar menenggelamkan sebesar
apapun kesalahan anak-anaknya hingga tak muncul kepermukaan. Tetapi sebagai
anaknya, kita harus memahami sifat manusiawi ibu kita, bahwa beliau juga punya hati
yang sakit jika tergores. Dan yang pasti Allah adalah Dzat yang Maha Adil, dan tidak
pernah lupa dengan janji-janji yang tertuang dalam ajaran-ajaran Rasul-Nya. Jadi,
berhati-hatilah memelihara janji yang pernah diucapkan di hadapan bunda.
Wallahu a'lam.
***

Berbeda itu Indah

PADEPOKAN AHMAD MALIK: - Saat engkau bertemu saudara yang berbeda rupa, kulit, bangsa ataupun
bahasa apa yang engkau pikirkan? Apalagi dia berkulit hitam yang kalau tersenyum
hanya gigi putihnya saja yang kelihatan? Tak perlu keluar negeri, di dalam negeri kita
sendiri ada banyak yang berbeda bukan? Pertama mungkin kita berkata dalam hati "ah
dia bukan asli sini" atau "bukan orang kampungku" dan sebagainya. Dan bila kebetulan
berada di negeri orang yang notabene tempat berkumpulnya orang berbagai negara
mungkin jadi " hmm bukan dari Asia, atau bukan Eropa, atau bukan Amerika, dan bla...
bla..." kata bukan tadi berarti sudah menyebut suatu beda. Berbeda dari kita.
Ya terus terang saya sering dibuat terkejut ketika malam-malam sedang asyik di depan
komputer asrama tiba-tiba disapa seorang Kenya, ataupun Sudan "Haii... How are you!",
pertama kali terus terang saya takut melihat wajah hitam mereka. Maklum, belum
terbiasa mungkin. Hingga akhirnya saya pun bersahabat dengan mereka. Saya mengenal
Kansly, Musa negro yang muslim, Shako yang baik hati dan otaknya cerdas, dan
semuanya yang begitu ramah serta lebih bisa menerima perbedaan dibanding saya yang
orang Asia.
Saya setuju dengan kata beda itu indah, dia merupakan sinergi yang bisa memberi warna
dalam hidup. Bisa membuat kesombongan luruh, memahami kesejatian hidup, menepis
segala bentuk rasa prasangka untuk lebih toleran terhadap sesama. Apalagi dengan aneka
bahasa verbal dan non verbal yang mendukung terciptanya kolaborasi warna pelangi.
Karena yang dinilai bukanlah kebagusan rupa, keindahan wajah, kekayaan yang
melimpah tapi satu adalah siapa dari kita yang paling takwa. Subhanallah, Duhai Yang
Mencipta Indah dan Perbedaan.
Tepatlah kiranya Allah mengatakan Al-Qur'an surat Al-Hujurat: 9, "Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan,
dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah SWT ialah orang yang lebih
bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah SWT Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal."
Dalam hadits pun disebutkan HR Imam Muslim, Shahihul Muslim, tafsir Ibnu Katsier juz
7 hal 322, "Sesungguhnya Allah tidak akan melihat bentuk-bentuk tubuhmu dan harta
kamu tetapi akan melihat isi hati kamu dan amal-amalmu".
HR Imam Ahmad tafsir Ibnu Katsier juz 7 hal 322 Dari Abu Dzar bahwa Rasulullah saw
bersabda kepadanya, "Lihatlah, engkau tidak lebih baik dari yang berkulit merah dan
pula dari yang berkulit hitam melainkan jika engkau mengunggulinya dengan taqwa
kepada Allah.". HR Imam Muslim, Terjemahan Shohih Muslim dari Yahya bin Hushain r.a., dari
neneknya Ummul Hushain, katanya dia mendengar neneknya bercerita, "Aku pergi
menunaikan ibadah haji bersama Rasulullah SAW ketika Haji Wada'. Ketika itu beliau
berkhutbah panjang lebar. Antara lain aku mendengar beliau bersabda, "Seandainya
pejabat yang kuangkat dalam pemerintahan seorang budak pontong hidung, mungkin
yang dimaksud nenek, budak hitam, tetapi dia memerintah kamu dengan Kitabullah,
maka hendaklah kamu patuh dan setia kepadanya."
Berbeda itu indah. namun semoga ini bisa mencambuk kita untuk lebih mendekat
padaNya, sang Pencipta Beda.
***

Ketika Cinta Berbuah Dilema


PADEPOKAN AHMAD MALIK: - Suatu hari Fatimah binti Rasulullah Saw, berkata kepada Sayidina Ali,
suaminya. "Wahai kekasihku, sesunguhnya aku pernah menyukai seorang pemuda ketika
aku masih gadis dulu."
"O ya," tanggap Sayidina Ali dengan wajah sedikit memerah. "Siapakah lelaki terhormat
itu, dinda?"
"Lelaki itu adalah engkau, sayangku," jawabnya sambil tersipu, membuat sayidina Ali
tersenyum dan semakin mencintai isterinya.
Percakapan romantis Siti Fatimah dengan Sayidina Ali di atas mungkin sudah menjadi
hal biasa bagi para suami isteri. Tetapi tidak bagi mereka yang belum menikah.
Percakapan-percakapan romantis yang sering ditemukan dalam buku-buku pernikahan itu
sungguh sangat imajinatif bagi para lajang yang sudah merindukan pernikahan, sekaligus
juga misteri, apakah ia bisa seromantis Siti Fatimah dan Sayidina Ali?
Alangkah bahagianya, seorang pemuda yang sejak lama memimpikan obrolan-obrolan
romantis akhirnya sampai di terminal harapan, sebuah pernikahan suci. Apa yang selamaini menjadi imajinasinya saat itu akan ia ungkapkan kepada isterinya. "Wahai kekasihku,
ada satu kata yang dari dulu terpenjara di hatiku dan ingin sekali kukatakan kepadamu,
aku mencintaimu."
Tetapi, kebahagiaan ini hanya milik mereka yang telah dikaruniai kemampuan untuk
mengikat perjanjian yang berat (mitsaqan ghalidha), pernikahan itu. Bagi mereka yang
masih harus melajang, semuanya masih hanya mimpi yang terus menggoda.
Terkadang, ada pemuda yang tidak kuat melawan godaan imajinasinya. Keinginan untuk
mengungkapkan cinta itu tiba-tiba sangat besar sekali. Tetapi kepada siapa perasaan itu
harus diungkapkan? Sementara isteri belum punya, kekasih pun tidak ada. Karena kata
pacaran sudah lama dihapus dalam kamus remajanya. Tapi, dorongan itu begitu besar,
begitu dahsyat.
Awalnya, kuat. Sampai tibalah sebuah perjumpaan. Sebuah rapat koordinasi di organisasi
kemahasiswaan atau dalam tugas kelompok dari sekolah telah mempertemukan dua
pesona. Imajinasi itu kembali menari-nari.
"Nampaknya, dibalik jilbabnya yang rapi ia adalah gadis yang kuimpikan selama ini."
"Oh, ketegasannya sesuai dengan penampilannya yang kalem, dia mungkin yang
kuharapkan."
Dan cinta itu hadir.
Tetapi, sudahkah saatnya cinta itu diucapkan? Padahal mengikat perjanjian yang berat
belum sanggup dilakukan. Lalu apa yang harus dilakukan ketika dorongan untuk
mengatakan perasaan semkain besar, teramat besar? Hingga perjumpaan dengannya jadi
begitu mengasyikkan; menerima sms-nya menjadi kebahagiaan; berbincang dengannya
menjadi kenikmatan; berpisah dengannya menjadi sebuah keberatan; ketidakhadirannya
adalah rasa kehilangan.
Indah. Tapi ini adalah musibah! Interaksi muslim dan muslimah yang semakin longgar
telah menggiring mereka kepada dua dinding dilema yang semakin menyempit dan
begitu menekan. Cinta terlanjur hadir. Meski indah tapi bermasalah. Mau menikah,
persiapan belum cukup atau kondisi belum mendukung. Menunggu pernikahan,
seminggu saja serasa setahun. Melepaskan dan memutuskan komunikasi, cinta terlanjur
bersemi. Menjalani interaksi seperti biasa, semuanya membuat hati semakin merasa
bersalah. Apa yang bisa dijadikan solusi? Jawabannya akan sangat panjang lebar jika yang
dijadikan landasan adalah realita dan logika. Tetapi, marilah kita bicara dengan nurani
dan keimanan, agar semua bisa terselesaikan dengan cepat dan tuntas.
Tanyakan kepada nurani tentang keimanan yang bersemayam di dalamnya? Masihkah
memiliki kekuatan untuk mempertahankan Allah sebagai nomor satu dan satu-satunya?
Dengan kekuatan iman, cinta kepada Allah bisa mengeliminir cinta kepada seseorang
yang telah menjauhkan dari keridhaan-Nya. Cinta macam apa yang menjauhkan diri dari
keridhaan Allah? Untuk apa mempertahankan cinta yang akhirnya membuahkan benci
Dzat yang sangat kita harapkan cinta-Nya?
Tanyakan pada keimanan dan nurani, siapa yang lebih dicintai, Allah ataukah "dia"?
"Qul Aamantu Billahi tsummastaqim!" (al-Hadits)
Wallahu a'lam.
***
Special untuk mereka yang sedang terjebak dalam lorong-lorong dilema bernama
"cinta". Buat kawan-kawan seperjuangan di Kairo, Tafahna al-Asyraf, dan Zaqaziq,
Mesir, kuatkan hatimu! Jadilah pemenang melawan sisi lain hatimu! Bersama doa dan
cintaku.

Kepedihan itu Ternyata Pertolongan-Nya


PADEPOKAN AHMAD MALIK: - Hampir selama tujuh bulan saya berada dalam kesedihan mendalam.
Bagaimana tidak, majikan tempat saya bekerja, sangat tidak baik. Keras, judes, salah
sedikit 'ngamuk', dan banyak lagi sifat yang sesungguhnya seringkali membuat hati ini
miris. Saya tidak menyangka jika bekerja di luar negeri ternyata tidak seperti yang saya
duga sebelumnya. Minimal itu yang terjadi pada diri saya. Namun, Alhamdulillah, sedikit demi sedikit saya bisa banyak belajar menghadapi
keadaan ini. Ada hal lain yang ternyata lebih menyedihkan saya mengenai perlakuan
majikan. Sesuatu yang berhubungan dengan sejauh mana kekuatan keimanan saya selama
ini.
Kami bekerja lima orang. Semua dari Indonesia. Sayalah orang yang paling baru. Jadi,
jika ada apa-apa saya harus menurut pada mereka yang sudah senior. Termasuk masalah
makanan sehari-hari. Kami berlima masak sendiri. Yang menjadikan saya sedih adalah
bahan-bahan yang kami makan ternyata sesuatu yang diambil dari tempat kerja kami.
Dan itu tanpa sepengetahuan sang majikan. Jika majikan tahu, entah apa yang terjadi
pada kami.
Bertahun-tahun saya belajar agama. Bertahun-tahun saya bergaul dengan mereka-mereka
yang sangat taat dengan aturan Allah. Jadi sedikit banyak saya tahu tentang halal, haram
dan tentu juga syubhat. Mengalami keadaan yang seperti ini, tentu hati saya sangat
berontak. Retak.
Tapi mau bagaimana, saya tidak bisa melawan kawan-kawan yang sudah lama. Ingin
sekali pindah, namun tak mudah, sebab ini bukan negeri sendiri. Ingin pulang kampung,
dan itu juga lebih parah, sebab saya ingat betapa susah proses untuk bisa bekerja di luar
negri. Di samping biayanya mahal, ada banyak liku-liku yang saya alami dengan PJTKI
di sana.
Akhirnya, setiap hari saya selalu berada dalam kebingungan dan kesedihan. Saking
bingungnya, saya menulis banyak email kepada seorang penulis yang tulisannya sering
saya baca di rubrik oase iman ini. Saya mohon kepadanya untuk didoakan agar saya bisa
keluar dari jerat syubhat ini.
Suatu hari menjelang datangnya bulan Ramadhan yang penuh berkah, terjadi sebuah
peristiwa yang menimpa diri saya. Minuman yang saya buat, untuk dijual ke konsumen,
tercemar minyak solar. Konsumen itu mengadu kepada kami. Kami mencoba untuk
mengatasi hal ini, tapi ternyata terdengar majikan. Tanpa kompromi lagi, saya dimarahi
habis-habisan. Hari itu juga tempat kerja saya dipindah. Semua alat untuk membuat
minuman dibawa semua. Saya tidak lagi bekerja bersama empat kawan saya. Saya
bekerja sendiri dari pagi sampai petang tidak ada yang menemani. Kecuali pelototan mata
majikan yang sangat tidak bersahabat. Seperti dipenjara, hari-hari saya bekerja dikelilingi tembok yang membatasi dengan dunia
luar. Semua masalah saya hadapi sendiri. Tidak seperti ketika kami masih berlima.
Kesedihan itu datang lagi.
Namun , setelah saya renungkan, ternyata ini adalah sebuah pertolongan besar dari Allah
SWT. Karena, walaupun saya diasingkan, ternyata saya justru dapat menghindari
makanan tidak halal selama ini. Yang jika boleh saya katakan adalah hasil curian milik
majikan. Saya mendapat jatah makanan dari majikan, walaupun kadang sisa-sisa
makanan keluarga mereka. Tapi sungguh ini jauh lebih baik. Yang terpenting ada
kehalalan di dalamnya. Dan yang paling mengharukan, saya bisa shalat berjamaah
tarawih di masjid, sedang teman-teman yang lain terikat dengan order kerja yang sangat
banyak.
Duh, Allah.., di awal Ramadhan kemarin, saya akhirnya meyakini, ternyata kepedihan
yang menimpa bukan sekedar perih dan nyeri tapi jauh lebih dari itu, sebuah anugerah,
sebuah pertolongan. Bahwa Allah terrnyata sayang pada hambanya, bahwa Allah tidak
rela keberkahan Ramadhan ternodai dengan ketidakhalalan dan Ia memberikan sebuah
solusinya. Allah Maha Besar!
***
hotline :085878537301 - e-mail: Wahyu_basf@yahoo.co.id