Selasa, 09 Februari 2010

MENANAMKAN POSITIVE THINKING, PERLUKAH? Mengapa Takut Tantangan?




MENANAMKAN POSITIVE THINKING, PERLUKAH?
Kecemasan jiwa selalu menempati posisi puncak diantara penyakit masa kini. Buku-buku dan penelitian yang membahas tema kejiwaan sudah sangat banyak. Meskipun begitu, fenomena kecemasan jiwa terus berlangsung.
Dalam kehidupan yang kita jalani, kita selalu dihadapkan akan perubahan di dunia. Oleh karenanya, dunia akan menggiring kita dalam keadaan yang akan berubah dari satu kondisi menjadi kondisi yang lain. Seorang yang belum mengenal perubahan ini dengan baik, maka segala upaya untuk mangatasi rasa cemas atau terbebas dari kesusahan, tidak akan berguna. Dalam permasalahan ini, seseorang tidak akan terbebas dari rasa cemas, kecuali jika ia sendiri bersikeras mengatasinya.
Untuk terbebas dari belenggu itu, kita perlu mengubah dan meluruskan gaya berfikir mulai dari sekarang. Seseorang tidak akan merasa bahagia, manakala ia membebani dirinya dengan beban pikiran yang penuh kesedihan dan kesusahan. Ia selalu gundah, selalu merasa kurang nyaman dengan beban yang dipikulnya.
Sesungguhanya, bayangan pikiran yang dimiliki setiap orang mengenai diri sendiri, juga bayangan pemikiran apa yang akan dilakukan, memberikan pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan pribadinya. Hal ini sebagai mana yang di katakan James Allen,"Segala sesuatu yang dilakukan seseorang adalah reaksi langsung dari apa yang ada di pikirannya. Seseorang dapat bangkit dan beraktifitas, hal itu karena faktor pemikirannya". Meskipun teori Allen bertentangan dengan ajaran agama Islam, yang menegaskan bahwa segala sesuatu digerak-kan dan diatur oleh Tuhan. Akan tetapi, yang perlu ditegaskan disini adalah, agar seseorang mau berpikiran baik tentang segala sesuatu. Ne, jare wong Londo-ne ‘positive thinking’, bukan malah ‘negative thinking’, selalu suudzan tentang segala sesuatu.

Tinggalkan Pereksionisme
Hal lain yang dapat menghalangi seseorang berlaku dan berfikir Positif, adalah orang-orang perfeksionisme, yaitu orang-orang yang menginginkan segala sesuatu berjalan dengan semestinya atau kehendaknya. Mereka tak mau menerima kekurangan, mereka juga cemas dengan adanya kemungkinan terjadi suatu kerusakan pada dirinya.
Fakta yang semestinya kita tahu, salah satu ciri kehidupan didunia ini adalah perasaan kurang. Kesempurnaan di dunia hanya terdapat dalam khayalan para penyair, serta teori para filosof dan orang-orang bijak.
Sebagai contah, terwujudnya kejujuran di dunia ini adalah hal mustahil. Di dunia seseorang akan menemukan orang yang suka berbohong, menipu, bahkan munafik. begitu pula seorang penganut perfeksionisme, mereka akan melakukan segala cara untuk menghindari kekurangan pada dirinya.
Seharusnya seseorang mengetahui dan memahami, bahwa di dunia ada kejernihan dan kekeruhan, keadilan dan kedzaliman, cinta dan benci, kejujuran dan kebohongan. Ada pula orang-orang munafik yang pandai mengubah corak penampilannya.
Pola pemikiran seperti inilah, yang seharusnya ditekankan dalam diri seseorang. Karena seseorang yang tidak berfikir positif dan kognitif, menggambarkan akan kekalahan jiwanya, kekalahan jiwa menjadikan orang berpikir perfeksionis. Bila sudah seperti itu, jangan harap ia dapat dengan baik memahami sebuah kemelut hidup. Ia selalu merasa tabu ketika dihadapkan pada sebuah permasalahan.
Sebenarnya, pemikiran yang cerah, bersih dan cemerlang, akan serta merta membawa kita pada sebuah langkah hidup yang tenang, tentram dan aman. Pemikiran positif seperti itulah yang harus diciptakan agar kita tidak mengalami kehidupan -meminjam istilah Guna-wan Muhammad- timpang dan gampang. Dari situ, kita akan terlatih untuk menterjemahkan segala sesuatu dan mampu untuk membenamkan keangkuhan. Semoga

Mengapa Takut Tantangan?


Dalam sebuah pelatihan kepemimpinan, seorang instruktur mengajukan
sebuah kasus yang kelihatannya sederhana kepada para peserta. Andaikan Anda seorang
nelayan (modern) yang harus berminggu-minggu di tengah laut menangkap ikan, apa
yang akan Anda lakukan agar sesampainya di darat ikan hasil tangkapan tetap segar?
Beberapa peserta nampak tergugah dan terjadilah dialog yang makin lama makin seru
dengan instruktur pelatihan.
"Masukkan saja ikan-ikannya dalam freezer,"
"Itu telah dilakukan. Tapi kesegarannya tetap akan berkurang, karena ketika sampai di
darat ikan telah mati cukup lama,"
"Kalau begitu, supaya tetap hidup, perlu disediakan semacam tangki air untuk
menyimpan ikan,"
"Itu pun telah dilakukan. Tapi karena terlalu lama berada dalam tangki, ikan-ikan itu
tetap saja mati atau lemas dan tidak segar lagi ketika dijual ke konsumen. Padahal
konsumen menginginkan ikan yang masih segar,"
Menit-menit berlalu, tak satu solusi pun tampak sesuai sasaran. Akhirnya instruktur
memberikan suatu jawaban yang cukup mengejutkan, yang tak pernah terpikirkan sedikit
pun di benak peserta, mungkin juga Anda.
"Solusi yang pernah dicoba dan ternyata berhasil adalah memasukkan seekor ikan hiu ke
dalam tangki ikan,"
Peserta nampak keheran-heranan mendengar solusi yang bagi mereka tak masuk akal itu.
"Bukannya ikan hiu itu justru akan memakan habis ikan-ikan lainnya?"
"Ya, memang ada ikan yang dimakan ikan hiu itu, tapi jumlahnya sangat sedikit. Ikan-
ikan lainnya tetap hidup sampai saatnya tiba di darat dan dijual ke konsumen dalam
keadaan tetap segar,"
"Mengapa demikian?"
"Jawabannya adalah karena ikan-ikan itu mendapat tantangan dengan dikejar-kejar ikan
hiu. Ternyata dengan adanya tantangan, kemampuan ikan dalam mempertahankan
kelangsungan hidupnya semakin tinggi. Ikan-ikan tersebut justru mampu bertahan hidup
lebih lama dengan adanya ikan hiu di sekitar mereka. Itulah hukum alam."
***
Ilustrasi di atas dapat dianalogikan pada manusia. Kita akan menjadi manusia yang
lemah, malas bekerja keras bahkan segan beribadah, dan cenderung santai jika tidak
mendapat tantangan yang besar dalam hidup ini. Tantangan akan meningkatkan
kecerdasan, kompetensi atau kemampuan diri dalam berusaha menyelesaikan masalah.
Bayangkan bila kita tidak merasa ditantang, kita tidak akan pernah terlatih untuk
menghadapi masalah, apalagi mau menyelesaikannya. Namun demikian, kadang kala
sebuah tantangan bisa menjadi suatu hambatan untuk maju, manakala kita tidak berani
menghadapinya, sehingga menjadikan kita seorang looser. Dalam kasus di atas ibaratnya
ikan kecil yang kurang gesit, sehingga dapat dimakan oleh ikan hiu.
Sesungguhnya Allah lah yang menciptakan tantangan kepada manusia di dunia ini dan
sekaligus menyediakan balasannya (reward and punishment), sebagai sarana peningkatan
kualitas ketaqwaan. Kadar tantangan-Nya sudah ditakar sangat akurat sesuai dengan
kemampuan kita masing-masing, sebagaimana tercermin dalam QS. Al Baqarah 286:
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan/tindakan buruk) yang dikerjakannya".
Kemampuan dalam menghadapi masalah sebagian besar tidak kita dapatkan di bangku
sekolah. Sekolah hanya mengajarkan alat dan metoda yang bisa kita gunakan untuk
menyelesaikan masalah. However, a man behind the gun will mostly determine to win a
war, kemampuan kitalah yang lebih menentukan. Kemampuan akan lebih meningkat jika
kita terus mengasahnya di dunia nyata (pekerjaan, rumah tangga, lingkungan sosial).
Semakin kita berhasil melewati tantangan akan menumbuhkan semangat baru untuk
menyelesaikan tantangan-tantangan berikutnya
Suatu ketika umat Islam mendapat sebuah tantangan. Pada saat itu Rasulullah SAW dan
kaum muslimin dikepung oleh pasukan kafir yang bersekutu sehingga jumlahnya berlipat
ganda dalam perang Ahzab. Namun ketika sedang memecahkan batu dan menggali parit
perlindungan, tiba-tiba dengan izin-Nya Rasulullah SAW mendapat 'gambaran' mengenai
masa depan Islam. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah SAW mengatakan:
"Allahu Akbar! Aku telah dikaruniai kunci-kunci istana negeri Persi, dan nampak olehku
dengan nyata istana-istana negeri Hirah begitu pun kota-kota maharaja Persi dan
bahwa umatku akan menguasai semua itu. Allahu Akbar! Aku telah dikaruniai kunci-
kunci negeri Romawi, dan tampak olehku dengan nyata istana-istana merahnya, dan
bahwa umatku akan menguasainya." Pada saat itu Persi dan Romawi adalah dua
imperium besar yang mengelilingi jazirah Arab dan menjadi simbol kekuatan tak
terkalahkan selama berabad-abad.
Ini adalah sebuah tantangan Allah yang digulirkan oleh Rasulullah kepada kaum
Muslimin. Dengan lecutan tantangan ini, Rasulullah dan para sahabatnya kembali
bersemangat dan berhasil memenangkan perang Ahzab (Khandaq) walaupun jumlah
pasukannya sangat sedikit. Dan tantangan yang dikatakan Rasulullah dalam hadits tersebut juga menambah semangat syiar Islam dan kelak berhasil diwujudkan pada masa
Khulafaur Rasyidin dan Kekhalifahan Utsmaniyah. Begitulah, apa yang pada masa itu
tampaknya tidak mungkin terjadi, pada kenyataannya bisa terwujud di kemudian hari.
Suatu tantangan tidak harus datang dari luar, namun kita bisa menciptakannya dari diri
kita sendiri. Tantangan dalam pekerjaan, keluarga, ataupun dakwah dapat diwujudkan
sebagai suatu target pencapaian yang harus dibuat lebih tinggi dari kondisi sekarang.
Jangan pikirkan itu sesuatu yang tidak bisa dicapai. Justru dengan tingginya suatu target,
kita menjadi terpacu untuk lebih maju, bekerja lebih keras dan berfikir lebih kreatif.
Tentu saja suatu target apakah akan dapat terwujud, tertunda untuk sementara waktu, atau
bahkan tidak terwujud itu merupakan hak prerogatif Allah semata.
Wallahu 'alam bishshowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar